Menggapai Daulat Energi Migas 1 juta BOPD di 2030

SSK Migas ingin membuktikan SDA Migas bernilai 80 miliar barel minyak, serta 363 triliun kaki kubik gas, demi daulat energi indonesia.

Ilustrasi blok mahakam I gatra

Blok Mahakam dulu dimiliki [dikelola perusahaan] Prancis dan Jepang, 100 persen sekarang kita berikan ke Pertamina. Blok Rokan dulu dikelola Chevron, Amerika Serikat, sekarang sudah diambil oleh Pertamina 100 persen juga,” Presiden Jokowidodo, saat membuka Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Rabu (8/8/2018)


Isu Nasionalisme merebak, seiring dinamika pagelaran politik yang terus saja menghangat, yang akhirnya memberikan proteksi besar terhadap pengelolaan SDA Indonesia.

Namun sengaja atau tidak, momentum tadi ternyata juga berhasil mendorong Pengelolaan Industri Hulu Minyak dan Gas (Migas) oleh Pertamina, yang beroperasi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur.

Nah Momentum itu, sekelebat akan menjadi pertanda positif atas urgensi hadirnya kedaulatan energi  di masa depan. Jadi bertanya, mengapa hal ini penting?

Ya dikarenakan ketergantungan konsumsi energi Migas dalam negeri terus saja  menganga. Dan hal yang tak dipungkiri yakni, jika industri Migas baik di hulu dan hilirnya, sudah nyata-nyata menghasilkan Pundi-pundi penting menghidupi pembangunan negara Indonesia.

Namun, berkaca pada data Kementerian ESDM, produksi rata-rata Migas pada Blok Mahakam pada saat pengalihan pengelolaannya dari perusahaan asing di 2017, menghasilkan produksi 52.000 BPOD (minyak dan kondesat) dan 1.351 MMSCFD (gas) saja.

Dan dibandingkan lagi di tahun 2020, produksi minyak di Blok Mahakam malah –hanya- tercatat 29.691 BOPD dan gas bumi 558 MMSCFD.  

Kenyataan itu memberikan cerminan, jika kinerja produksi industri hulu Migas di Blok Mahakam oleh Pertamina, ternyata belum-lah memuaskan.

Padahal semangat Nasionalisme kita kian menggebu saja, agar kita optimis mampu mengelola industri hulu Migas lebih optimal lagi, terlebih lewat tangan bangsa sendiri.

Sekertaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Taslim Yunus, dalam sebuah Webinar LKJ SKK Migas 2021, yang tayang di laman media sosial, Youtube (28/4) menyebutkan jika kebutuhan BBM dalam negeri saat ini baru sebesar 1,4 juta barel per hari. Sementara kapasitas produksi BBM di dalam negeri baru mencapai 800 ribu barel per hari.

Artinya apa? Kekurangan kebutuhan energi masih harus dipenuhi dengan cara aktivitas impor BBM dari luar negeri.

Persoalan lainnya yang teramat penting pula, adalah selama dua dekade ini, Indonesia belum mampu menemukan cadangan sumur minyak baru. Dan hanya mengandalkan 20 cekungan Migas yang sudah lama beroperasi berpuluh-puluh tahun lamanya.

Padahal, setidaknya masih terdapat  108 cekungan yang jua berpotensial untuk dieksplorasi, dan dieksploitasi bagi pengembangan industri hulu Migas secara maksimal.

Dalam Webinar itu, Taslim Yunus menekankan jika pekerjaan rumah tadi, ternyata -memang- mau tidak mau harus segera dikerjakan, guna menyokong persiapan besar Indonesia di tahun 2030. Dimana pada saat itu, Indonesia juga diprediksi menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar nomor 4 di dunia.

Namun siapkah kita? Jika mantap menjawab siap, solusinya adalah, Indonesia harus mampu mengejar target produksi  1 juta barel minyak per hari, dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) di tahun 2030 nanti.

Dimana untuk mewujudkan hal itu bukanlah pekerjaan mudah, perlu aliran investasi mencapai US$ 187 miliar atau lebih dari Rp 2.600 triliun.

Dari ihtiar itulah akan mampu mendatangkan teknologi mumpuni dalam usaha ekplorasi Migas, dan jua mengeksploitasi pengembangan industri Hulu Migas Indonesia.

Dari hasil investasi tadi, pemenuhan target produksi Migas juga akan memberikan efek pengganda berupa pendapatan kotor senilai US$ 371 miliar, dengan potensi pendapatan negara US$ 131 miliar pada 2030. Ini pastilah bermanafaat baik bagi perekonomian nasional dan regional.

Nah, semangat Nasionalime yang berkumandang dalam konteks-konteks pengelolaan kekayaan SDA, dewasa ini, dan telah disimulasikan pada industri hulu Migas di Blok Mahakam oleh Pertamina tentu akan memberikan wawasan dan pengetahuan baru bagi kita kan?

Yakni, ternyata tantangan pengelolaan industri hulu Migas memang tidak semudah yang kita bayangkan, bukan?

Dan lantas, apa saja yang harus dan sedang dikerjakan SSK Migas guna menggapai target berdaulat energi di 2030 itu ya? Terlebih di tengah terjangan Pandemi yang memberikan gambaran ekonomi serba tidak menentu di dunia.

Hemm, apakah rasa Nasionalisme saja cukup mengerjakan pekerjaan besar berdaulat energi di 2030 nanti ya?

Tantangan Investasi global, sebagai kunci pengembangan Industri Hulu Migas?

Dalam bisnis Migas, resiko bisnis pastilah tak dapat terhindarkan. Secanggih apapun keahlian SDM manusia dalam mengelola bisnis Migas, resiko kegiatan drilling pada industri Migas tetap akan berisiko tinggi.

Probabalitas keberhasilan eksplorasi bisnis Migas itu ternyata hanya 20%. Tantangan lainnya yang berat pada bisnis Migas ini adalah harga Migas yang tergantung atas dinamika pasar, serta hadirnya campur tangan percaturan politik dunia.

Hal itulah, yang menjadikan banyak intitusi keuangan, berfikir keras untuk mau bersedia membiayai kegiatan bisnis eksplorasi Migas ini.

Dalam sebuah study di Amerika, Cost of Capital dalam bisnis Migas berada di sekitar 7%, sementara untuk perusahaan utility dan power di sekitar 4%.

Selain cost of capitaL yang cukup tinggi, Perusahaan Migas juga berharap Return of investment (ROI) mereka sekitar 3.9% di atas Cost of Capital. Sementara perusahaan utility dan power bisa menerima ROI sekitar 2.3% di atas Cost of capital mereka.

Gambaran ini sudah memberikan tren problematika terkini,dimana banyak perusahaan Migas juga ramai menurunkan investasinya.

Dan hal itulah yang bisa berdampak pada lambannya perkembangan produksi industri hulu Migas Indonesia. Terlebih isu terkini adalah hantaman Pandemi yang memukul tingkat konsumsi energi Migas dunia, dan serta merta berdampak pula pada fluktuasi harga minyak mentah (Brent) dunia.

Sebuah rumus berlaku pada bisnis Migas, yang ditukil dari catatan Arcandra Tahar, mengatakan apabila harga minyak di bawah $45/bbl saja, sektor hulu (sektor sumur minyak) pastilah merugi, sementara sektor hilirnya (kilang dan petrochemical) beruntung.

Sebaliknya jika harga minyak di atas $80/bbl maka sektor hilir akan merugi, sedangkan sektor hulu akan untung.

Nah, fluktuasi harga yang sangat tidak menentu inilah yang membuat perusahaan Migas dunia harus mampu fasih jua berbisnis di kedua sektornya, yakni hulu dan hilir industri Migas.

Namun mengingat ketergantungan dunia terhadap minyak dan Gas masih terlalu besar, timbulah pertanyaan mendasar bagi negara-negara penghasil Migas seperti Indonesia ini, yakni kapan waktunya perusahaan Migas global mulai mau berinvestasi di industri hulu Migas?

Dan jika melihat tren terkini, banyak perusahaan Migas global memilih hanya mau fokus menggarap lapangan Migas yang gampang-gampang saja, dengan biaya ongkos produksi semurah mungkin.

Sehingga lapangan Migas yang secara teknologi sulit, pastilah akan ditunda. Sementara teknologi yang bisa digunakan secara cepat akan lebih dimaksimalkan, untuk segera mendapatkan revenue.

Dan malah banyak kita temui Perusahaan Migas global ramai menjual aset atau lapangan migas  di sebuah negera, namun hal itu bukan berarti iklim usaha di negara itu tidak menarik lagi.

Karena pada intinya, jika selama investasi di sebuah negera menjanjikan keuntungan optimal dan mampu menjamin keamanan bisnis dalam jangka panjang, perusahaan Migas pastilah akan tetap datang untuk berinvestasi.

Kita lantas mampu berasumsi, mungkin saja kondisi inilah yang sedang terjadi di Indonesia ya?  Dimana negara belum hadir memberikan jaminan investasi swasta/asing akibat tekanan apa saja, termasuk tekanan politik dalam negeri, yang terus mememikkan isu nasionalisme dalam mengelola SDA kita?

Namun fakta terkini adalah banyak perusahan Migas yang sedang beroperasi di Indonesia, juga sudah menurunkan nilai investasi industri Migasnya berkisar 20-30%-an, dikarenakan faktor apa saja. Dan menurut Taslim Yunus, hal inilah yang sudah menjadikan tantangan investasi industri hulu Migas di Indonesia, semakin berat.

Strategi SSK Migas menggenjot target 1 juta barel per hari

Namun, bersyukurlah harga ICP (Indonesian Crude Price) per Juni 2021 melambung mencapai harga US$70.23/barel.

Dengan kenaikan harga itu, SKK Migas mencatat penerimaan negara dari industri hulu migas di semester pertama 2021, sudah mencapat Rp 96.7 triliun. Penerimaan itu setara 91.7% dari target APBN 2021.

Taslim Yunus, juga menjelaskan langkah yang ditempuh lembaganya dalam menggenjot target daulat energi di 2030 mendatang, lewat berbagai starategi, diantaranya terus mengoptimalkan produksi dan lifting dari lapangan eksisting. Salah satunya pengelolaan reservoir yang baik dan pemeliharaan fasilitas (maintenance base production).

Strategi lainnya, SKK Migas akan bertransformasi dengan fokus reserve to production lewat percepatan program pengembangan atau plan of development (POD) terhadap cadangan-cadangan baru yang ditemukan. Serta, akan terus massif menggunakan teknologi enhanced oil recovery (EOR).

Dan strategi jangka panjangnya SKK Migas, akan terus meningkatkan eksplorasi secara massif lagi, untuk menemukan sumber daya dan cadangan baru. Masih terdapat 128 cekungan, diantaranya memang baru hanya 20 cekungan yang terus dipacu berproduksi, sisanya 54 cekungan yang masih belum tersentuh untuk dieksplorasi, dan sedang menunggu uluran investasi Migas.

Dari strategi yang tengah dijalankan tadi, SKK Migas sudah mendapatkan berbagai hasil dalam pengejaran target menuju produksi 1 juta barel per hari tersebut, diantaranya.

1. SKK Migas telah mencatat terdapat tujuh proyek hulu Migas yang telah terwujud pada semester pertama di 2021. Dimana ketujuh proyek tadi, telah efektif memberikan tambahan produksi sebesar 10.710 BPOD dan gas 475 MMSFD saat ini.

2. Selain itu hadir pula proyek hulu Migas yang menjadi proyek strategis nasional, yakni proyek Jambaran Tiung Biru yang running 91.93%. SKK Migas juga mencatat enam sampai tujuh sumur eksplorasi baru yang selesai dibor.

3. SKK Migas lantas juga tengah melakukan survei seismik 2D sepanjang 1.917 Km, survei seismik 3D sepanjang 673 km2, dan sebanyak 67 kegiatan studi G&G. Dan potensi di wilayah timur Indonesia juga sudah terus dilakukan survei full tensor Gravity Gradiometry. Sedangkan FTG Area Akimeugah yang juga sedang berjalan, hingga Agustus 2021 ini.

Dengan berbagai strategi ini, selain SSK Migas terus berihtiar mengejar target 1 juta barel per hari. SKK Migas sekaligus ingin membuktikan, jika hadirnya potensi sumber daya Indonesia yang tersimpan dan bernilai 80 miliar barel minyak, serta 363 triliun kaki kubik gas kian nyata.

Semuanya digapai tentu saja demi kedulatan energi indonesia di masa depan. (Alfian Arbi)

Credit Photo Cover Gatra

Kamu juga harus baca artikel ini!

error: Content is protected !!