Kini Melestarikan Cagar Budaya Kaltim, Semudah Mengakses IndiHome saja

Berwisata di banyak situs cagar budaya etam, memantikkan ragam konten digital, membagikannya ke dunia maya real-time di sini, untuk memanggil kepedulian dunia, menjadikan situs cagar budaya etam, sebagai destinasi wisata prioritas di IKN kelak.


“Sanggupkah kita mereguk manfaat Internet IndiHome Telkom indonesia sebagai Internetnya indonesia yang kini bertebaran di langit Kaltim? Memantikkan ragam konten digital, membagikannya ke dunia maya secara real-time, memanggil kepedulian dunia, menjadikan situs cagar budaya etam, sebagai destinasi wisata prioritas di IKN kelak?”


Sudah lama aku tidak menepi dan memandangi wajah rupawan sang Mahakam. Terakhir kali bercengkarama dengannya, kala aku duduk di sekolah menengah atas. Lantas menikmati keasikan menatap Mahakam itu hadir, saat melemparkan kail ke arus derasnya, yang segera berhasil membuat jantung berdebar kencang, menunggu keajaiban itu datang.

Sesaat, ikan patin penghuni Mahakam manja menarik-narik kailku, dan melepaskannya lagi. Duh, aku berulang tertipu.

Namun, ada saja lho ikan patin yang bernasib sial, tersangkut di kailnya  dan akhirnya menjadikan santapan lezat.

Keajaiban itu serasa membentuk keyakinan bagi kami warga banua etam di Kaltim, jika sungai Mahakam akan selalu adil membagi rezeki kepada siapa saja, yang mau selalu merawat dan menjaganya.

Lantas, mensesapi kenikmatan Tuhan berupa aliran sungai Mahakam itu, menjejakkan pikiran atas kisah-kisah sejarah peradaban sungai Mahakam yang terjadi di masa lampau jua.

Dimana sedari dulu, Mahakam tak pernah lelah melayani kebutuhan hidup manusia, seperti memenuhi pasokan air bersih, mencurahkan kebutuhan konsumsi ikan dan hewan buruan, lantas menjadikan titik perhubungan penting, serta meletakkan tepian sungai sebagai lahan subur bercocok tanam.

Potensi itulah yang –pantas– menjadikan lokasi di tepi-tepi sungai Mahakam sebagai pusat Pemerintahan, dalam mempertahankan kekuasaan/kendali atas akses air.

Dan akhirnya, Mahakam menjadi sebuah kawasan teritorial penting bagi sebuah bangsa di jamannya,

Nah, menengok sejarah Banua Etam, Kalimantan Timur, hal di atas jelas mampu dibuktikan dengan berdirinya pusat pemerintahan Kerajaan tertua Nusantara.

Diantaranya adalah kerajaan Martapura (399-1635) dan Kerajaan Kutai Kertanegara (1300- 1960), dimana letak pusat Pemerintahannya dipilih berada di tepian sungai  Mahakam ini.

Oleh sebab itulah, kisah-kisah Peradaban masa lampau itu mudah menghamburkan banyak situs-situs cagar budaya di sepanjang 980 kilometer Mahakam itu.

Namun kini rasanya kesemua jejak itu sedang terancam oleh ragam agenda pembangunan daerah Kaltim yang kian massif saja?

Khayalanku lantas melambung jauh ke masa depan, dan bertanya apakah kekayaan cagar budaya itu mampu kita lestarikan, agar tetap mampu menularkan warisan kebudayaan pada generasi mendatang ya?

Lantas terpenting juga adalah bagaimana generasi mendatang akan mampu mengkapitalisasikan tinggalan-tinggalan kebudayaan sejarah itu, dan mengkonversinya menjadi akses kesejahteraan yang mengakar pada perekonomian bangsa?

Nah, rasanya pendekatan kebudayaan sungai dapatlah menjadi sebuah dasar atas aksi kepedulian itu, bukan?

Dimana semua aksi kepedulian tadi akan tetap mengakui, jika kesejahteraan manusia dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, ya akan tergantung pada faktor yang sama yakni dinamika habitat alami, kualitas air, ragam jasa ekosistem yang selalu terpelihara.

Dan cara pendekatan kebudayaan tadi, akhirnya akan mampu memberikan rangka kerja Pemerintah mengatur kembali prioritas dalam pengelolaan, yang berdasarkan kebutuhan manusia terkini.

Tapi ya sudahlah, memang fitrah, dimana dahulu dan masa kini, pastilah akan menggoreskan perbedaan kondisi tadi?

Lihat saja, kini wajah Mahakam terlanjur seksi oleh ragam pembangunan itu, dan pantas  saja menyisakan keraguan mendalam, untuk memampukan kita melestarikan tinggalan cagar budaya tadi kan?

Jika menanyakan itu kepadaku. Jawabku sendiri hanya mampu memandangi wajah Mahakam lebih dalam, sembari kuajak Mahakam berselfi –hanya– berdua dengannya, kubagikan kebahagiaan kita itu, ke penjuru dunia maya.

Pulau Kumala Tenggarong
Pulau Kumala di badan Sungai Mahakam Tenggarong I Dokpri

Berharap aksi itu akan mengajak dunia, ikut mengunjungi, melidungi, dan melestarikan semua kekayaan situs cagar budaya Mahakam Banua etam.

Eh aksiku sepertinya terlihat pasrah ya? Lantas bagaimana rencana aksi versimu sendiri?

Tapi tenang, aku punya alasan kuat melakukannya, demi mengembalikan rona pariwisata etam yang lahir dari senyuman Mahakam. Nah yuk baca terus ya!

Jelajah Mahakam, menghamburkan kepedulian pelestarian cagar budaya etam!

Persiapan jelajah cagar budaya Kaltim I Dokpri
Persiapan jelajah cagar budaya Kaltim I Dokpri

Ombak kecil yang ramah menghantam tepi sungai, dan, berhasil memecahkan lamunanku yang masih terduduk di tepi sungai Mahakam pagi itu.

Ombak datang dari arah Kapal wisata Pesut Bentong yang merapat di dermaga Samarinda Ilir, menjemput kami para penjelajah cagar budaya pada Kamis, (19/5/2022) lalu.

Beruntung cuaca pagi itu cerah, dan mempersilahkan para penjelajah yang sebagian besar adalah bangsa Milenial, untuk berlayar di pundak sungai Mahakam, menjumpai ragam situs cagar budaya diTenggarong, Kaltim.

Lantas, kala berada di badan kapal wisata Pesut Bentong, khayalan ku langsung tertuju pada catatan-catatan yang tertuang dalam buku Kalimantan memanggil, milik Tjilik Riwu, cetak tahun 1958.

Buku itu mengenalkan dan menegaskan definisi Kalimantan adalah pulau dengan sungai-sungai besar.

Definisi itu rasanya memparipurnakan fakta jika sungai–sungai di Kaltim –khususnya- Mahakam sudah berhasil menjadi katalisator terbentukanya peradaban kebudayaan daerah Kaltim.

Dan akhirnya,  peradaban  kebudayaan itu berhasil melekatkan sebuah tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat adat Kutai, di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Kapl wisata Pesut Bnetong I Dokpri
Kapl wisata Pesut Bnetong I Dokpri

Kapal kami perlahan melaju melawan deras Mahakam menuju arah hulu sungai. Di sekitaran pemandangan badan sungai masih terlihat jelas aktivitas industri lawas, yang hilir mudik seperti pengangkutan hasil hutan berupa kayu gelondongan, dan batu bara.

Terlihat jua ramai aktivitas penambang pasir oleh masyarakat, serta  aktivitas budidaya ikan keramba, di bibir-bibr sungai.

Dan yang paling menarik adalah, masih nampak arsitektur rumah kayu warga, menghadap ke arah sungai Mahakam. Warga yang mendiaminya masih terlihat asik saja beraktivitas harian, mandi dan mencuci di aliran Mahakam.

Sementara banyak jua literasi, yang menggambarkan massifnya aktivitas warga di bagian hulu Mahakam.

Aktivitas itu berupa aktivitas eksplotatif hutan, penambangan emas, dok kapal. hingga menjadi simpul aktivitas distribusi barang dan jasa daerah-daerah terpencil.

Lantas pengalaman jelajah ini bagiku tentu sangat menarik untuk memanen angle-angle gambar visual menarik atas dinamika Mahakam.

Dan yang pasti mudah menjadi santapan, menjadikannya  objek terbaik postingan ke dunia maya nanti. Sekaligus jua meramu prosesi healing diri untuk berwisata susur sungai.

Dan beruntung saja, akses internet, kala berselancar di sepanjang Mahakam masih lancar jaya, buat mengirimkan status tebaru via media sosial kami.

Ah jelas lah, kelancaran akses itu mudah sekali ditebak, dengan hadirnya tower BTS yang menjulang dan menjadi media transmisi signal telekomunikasi, menghantarkan kenikmatan berinternet –khususnya—buat warga Kaltim.

Meski faktanya, terlihat beberapa letak tower telekomunikasi itu sudah menggusur ekosistem tumbuhan endemik keratom, yang dahulu banyak tumbuh di tepi mahakam.

Tidak itu saja, banyak jua bangunan peribadatan tua yang bersejarah, lokasi kejayaan industri Kaltim, serta makam-makam  kuno ikut tergilas, menjadi alas pembangunan infrastruktur daerah lainnya.

Lantas, jika sudah begini, akan menjadi sebuah dilema untuk dipilih, bukan?

Antara  massifnya niatan pelestarian cagar budaya yang berhamburan di sepanjang Mahakam, dengan urgensi pembangunan bangsa, seperti infratruktur jalan, terlebih infrastruktur telekomunikasi, yang pasti menyokong kehidupan modern.

Akhirnya, jelaslah aktivitas penjelajahan sungai Mahakam, yang lebih bernuansa wisata itu, ternyata gampang sekali ya mengundang rasa kepedulian di benak kami, atas semua hal yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan daerah terkini.

Pengangkutan hasil hutan melewati Mahakam I Dokpri
Pengangkutan hasil hutan melewati Mahakam I Dokpri

Pengangkutan komoditas Batubara melewati Mahakam I Dokpri
Pengangkutan komoditas Batubara melewati Mahakam I Dokpri

Dan tentu saja –maunya— kepedulian itu akan memantik keinginan untuk mengkreasikannya ke dalam konten digital, guna menularkan kepedulian yang sama terhadap eksistensi pesona Mahakam beserta cagar budayanya via dunia maya.

Sesi diskusi selama perjalanan jelajash cagar budaya 2022 Kaltim I Dokpri
Sesi diskusi selama perjalanan jelajash cagar budaya 2022 Kaltim I Dokpri

Dan pada pada akhirnya visualisasi yang disajikan di atas kapal pesut Bentong, mudah menjadikan perdebatan sengit para peserta penjelajah cagar budaya.

Iya perdebatan yang bermuara pada solusi pelestarian cagar budaya kedepan. Sekaligus menerka siapakah yang bertanggung jawab atas pelestarian cagar budaya Mahakam di masa depan itu sih?

Kita semua bertanggung jawab atas pelestarian cagar budaya itu?

Jika dicerna lewat Undang-undang 11 tahun 2010 tentang cagar budaya serta Undang-undang No 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, sudah menjelaskan mengenai runtutan kriteria penetapan predikat sebuah objek cagar budaya.

Itu artinya, ada sebuah seleksi yang berjenjang dan panjang, bagi calon suatu objek cagar budaya tadi, dan semua itu dilaksanakan sebagai upaya pemajuan kebudayaan oleh Pemerintah.

Namun upaya itu tentu juga tidak akan menapikkan, jika terdapat objek cagar budaya yang tak mampu diverifikasi, dan akhirnya berhasil dijadikan alas pembangunan infrastruktur lainnya kan?

Karena tentu kurang hadirnya publikasi dan dukungan massif dari kita, untuk dipertahankan.


Nah, lantas bagaimana proses upaya yang sudah dan sedang diupayakan atas pemajuan kebudayaan oleh Pemerintah. Dan pastilah akan bersinggungan erat dengan usaha pelestarian cagar budaya itu?

  1. Upaya pelindungan, yang sebenarnya mampu dikerjakan oleh siapa saja, dengan langkah-langkah mudah seperti pencatatan, pendokumentasian objek yang kita anggap layak berpredikat cagar budaya untuk dipertahankan. Dan selanjutnya, dapat kita segera kita verifikasi ke pihak Kementrian, untuk ditindak lanjutin.
  2. Pemanfaatan, yakni upaya pendayagunaan objek pemajuan kebudayaan guna menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan untuk wujdukan tujuan nasional.
  3. Pengembangan, yakni upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan serta meningkatkan, memperkaya, menyebarluaskan kebudayaan.
  4. Pembinaan, sebagai upaya pemberdayaan sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan dalam meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif kita sebagi warga.

Nah dari upaya berjenjang itu tentu, akan menjadikan sebuah porsi tanggung jawab atas upaya pelestarian cagar budaya yang dapat dikerjakan oleh siapapun?

Sebut saja, pada upaya pelindungan cagar budaya yang mudah kita dapat lakukan kala berwisata di penjuru situs cagar budaya Nusantara.

Dalam hal ini, kita mudah melakukan pendokumentasian objek cagar budaya –versi kita–, dan kita kemas dalam konten-konten digital, dan selanjutnya secara sengaja atau tidak sengaja, kita bagikan di media sosial. Duh sesederhana itukah?

Lantas, tindakan lebih lanjutnya memastikan temuan dari cagar budaya yang kita lihat dan ingin lindungi itu, dapat segera  kita  daftarkan saja  secara online dengan mengakses www.bpcbkalimantan,id/laportemuan


Namun tentu lagi-lagi hal itu pasti berpotensi untuk terganjal. pada dua faktor ini, apa saja itu?

  1. Minimnya Suber Daya Manusia generasi muda untuk mau peduli mengena kebudayaaan Nusantara sendiri. Serta mereka kurang atensi menggenggam keahlian di bidang IT, menulis, dan editing video.
  2. Terpenting juga, minimnya pula infrastruktur Telekomunikasi yang membuat manfaat internet manjadi susah dijangkau masyarakat, dan berbiaya mahal.

Oleh karena itu, kegemaran generasi muda untuk berwisata di pusat situs cagar budaya, akan menjadi kunci penting dalam menggandakan solusi permasalahan bangsa.

Baik solusi ekonomi dam juga solusi pelastarian cagar budayanya, dalam sebuah tindakan saja.

Apa itu? Ya berlomba mempublikasi objek cagar budaya yamg menarik secara keilmuan dengan massifnya, kala berwisata di banyak situs cagar budaya Nusantara!

Melestarikan Situs Cagar Budaya Kaltim, sebagai Ikon industri Pariwisata IKN kelak!

Nah kini tiba saatnya menjejak bagian tengah jalur Mahakam, kala kita tengah merapat di Dermaga Tenggarong Kutai Kertanegara.

Lihat saja, dari tepi Dermaga itu, bangunan megah, sekira 35 ribu meter persegi, yang terbuat dari beton.

Bangunan itu dibangun pada tahun 1932, oleh seorang arsitek asal Belanda, Louis Joseph Marie.

Dan ternyata, disinilah alas Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri.

Selfi-ria di depan Museum Mulawrman Tenggarong I Dokpri
Selfi-ria di depan Museum Mulawrman Tenggarong I Dokpri

Kawasan yang sekarang dikenal kini dengan nama Museum Mulawarman itu, akan mampu menceritakan kejayaan  kerajaan Kutai Kertanagera yang mampu menginvasi Kerajaan tertua Nusantara, yakni Martapura pada abad ke-16 oleh Raja Aji Batara Sinum Mandapa

Memang lokasi istana kerajaan Kutai Kertangeara sebelumnya berada di wilayah Kutai lama, Anggana, yang masih bagian wilayah Kukar.

Dan akhirnya Kerajaan Kutai Kertanegara memutuskan memindahkan pusat Pemerintahannya di Tenggarong ini. Dan menjayakan Pemerintahan Kerajaan Kutai kertanegara dari masa ke masa.

Lantas pada abad ke-17, paradaban islam mulai masuk dan diperkenalkan di kehidupan kawasan Kerajaan Kutai Kertanegara, gelar raja diganti menjadi Sultan.

Dan Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739) menjadi Raja pertama yang bergelar Sultan, sekaligus sebutan Kerajaaan Kutai Kertanegera berubah menjadi Kesultanan Kutai Kertanegera Ing Martapura.

Jujur saja menjejak sejarah peradaban di salah satu bangunan istana Kerajaan tertua Nusantara itu sangatlah mudah.

Karena Museum Mulawarman merupakan sebuah kawasan situs cagar budaya yang berdekatan dengan ragam cagar budaya lainnya.

Sehingga menjadikan sebuah paket edu-wisata lengkap dan menyenangkan kala mengunjunginya. Terlebih sebelum sampai kemari,  kita sudah memiliki bekal atas  pesona susur Mahakam, atas gambaran kebudayaaan sungainya.

Nah, Museum Mulawarman sudah dapat dikatakan menjadi sebuah model pelestarian cagar budaya yang berkelanjutan dan Profesional?

Karena, selain 5000-an koleksi benda kerajaan yang terpelihara dan dapat mudah dilihat. Semua pengunjung yang datang kemari dapat meraskan banyak fasiltas terbaik untuk sampai kemari.

Masjid Jami Adji Amir Hasanoedin I Dokpri
Masjid Jami Adji Amir Hasanoedin I Dokpri

Masjid Jami Adji Amir Hasanoedin I Dokpri
Masjid Jami Adji Amir Hasanoedin I Dokpri
Makam Raja Kutai I Dokpri
Makam Raja Kutai I Dokpri

Terutama hadirnya akses internet yang layak, untuk berbagi pengetahuan sejarah kala menginjakkan kaki kita di situs cagar budaya etam secara online. Salah satunya hamburan pancaran sinyal Wifi fixed broadband yang kita mudah akses.

Monumen Jam Nii Ruum I Dokpri
Monumen Jam Nii Ruum I Dokpri

Harapannya, kehadiran akses internet itu akan memproduksi massifnya konten-konten edu-wisata mengena cagar budaya Nusantara yang menggema di dunia maya dari Tenggarong ini. Dan akhirnya mampu mengembalikan rona dunia pariwisata yang layu semenjak Pandemi.

Terlebih, angle-angle menarik atas temuan cagar budaya yang kita saksikan dalam penjelajahan wisata sungai Mahakam.

Dimana kesemuanya itu akan mampu memetik perhatian dunia, untuk berkunjung dan berfoto selfi di sini jua, iya ke museum Mulawarman ini.

Nah, akhirnya kita bisa saja berfikir, jika pelestarian cagar budaya etam tadi, tentu akan menjadi sebuah harga mati untuk dilakukan?

Karena beban Kaltim yang menggenggam predikat Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia saat ini, tentu akan menciptakan tantangan baru,  berupa massifnya pembangunan dan migrasi penduduk dari luar Kalimantan, untuk berdiam di sini.

Timbul kecemasan jua, jangan-jangan alas-alas cagar budaya yang bertebaran di sepanjang tepi Mahakam akan tergilas menjadi alas infrastruktur modern masa depan dan alas pemukiman?

Namun dibalik itu tentu juga terselip optimisme baru, dimana predikat IKN bagi Kaltim akan pula menjadikan cagar budaya etam, sebagai ikon pariwisata IKN yang kelas.

Dan dapat dinikmati oleh semua wisatawan dari manapun dan kapanpun. Dan akhirnya mampu bermuara pada kuatnya industri pariwisata Kaltim.

Oleh sebab itu, aksi kepedulian kita untuk memasifkan kenikmatan berwisata di situs cagar budaya ya memang harus diprioritaskan, bukan?

Kantor Gubernur Kaltim di tepain Mahakam I Dokpri
Kantor Gubernur Kaltim di tepain Mahakam I Dokpri

Namun, tentu saja –dicatat– harus dibarengi dengan dukungan kita atas pembangunan infratsruktur telekomunkasi yang memudahkan akses internet yang layak, dan merata dan mampu dioptimalkan lebih kencang lagi, di lokasi-lokasi edu -wisata tadi.

Lantas sanggupkah kita melaksanakan tantangan itu, terutama jika manfaat internet, sudah bertebaran di langit Kaltim?

Penetrasi akses IndiHome, jalan maya pelestarian cagar budaya etam?

Memandang peta Kaltim sekelebat saja bisa meninggalkan sebuah tafsir, yakni gambaran Kaltim adalah sebuah daerah terisolir?

Namun hari ini, detik ini, kita sudah mampu membuktikan tafsir itu dalam banyak kanal media sosial yang menyajikan geliat daerah Kaltim dalam pembangunan, termasuk industri wisata cagar budayanya, baik benda atau non benda.

Dan, memang perjalanan susur Mahakam kami masihlah panjang untuk disimpulkan klimaks kenikmatannya, hanya berbatas di tulisan ini saja.

Nah jika kita hanya berhenti di Tenggarong,  ternyata masih menyisakan ratusan kilometer lagi, untuk menembus perjalanan berlayar menuju hulu Mahakam, dan menemukan kekayaan kebudayaan etam lebih lengkap di sana.

Kenal Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahulu? Mereka adalah daerah hulu Mahakam, yang kini sedang berkembang.

Lantas bisa saja. Kita membayangkan akan rumit ya Demografi daerah hulu Mahakam itu, dan rasanya akan sulit pula  bersinergi dengan agenda pembangunan daerah, dengan gesitnya..

Nah dalam konteks pembangunan telekomunikasi saja –misalnya– Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat via laporan Internet Indonesia 2022, penetrasi internet Indoneisa sudah mencapai 77.02% pada 2021-2022 lho.

Namun, jika dibreakdown, penetrasi internet di Kalimantan masihlah sangat kecil, hanya 4.88% saja.

Lantas membayangkan penetrasi Internet di Mahulu yang kaya dengan aset cagar budaya benda/non benda itu bagaimana ya?

Ilustrasi Fasilitas IndiHome, internet, tv dan telpon rumah I Dokpri
Ilustrasi Fasilitas IndiHome, internet, tv dan telpon rumah I Dokpri

Kita lantas membayangkan bagaimana Telkom Indonesia pasti akan bersusah payah memanjakan manfaat internet di sana, menghadirkan tower yang berjajar di sepanjang belantara dan riam hulu Mahakam itu? Berapa banyak dana yang akan ditelan?

Namun kenyataannya, jika dahulu, warga Mahulu hanya menggunakan satelit untuk menjangkau manfaat internet.

Saat ini, beberapa daerah hulu Mahakam itu malah sudah terakses internet dengan menggunakan Fiber Optik (FO) IndiHome lagi, memudahkan aktivitas industri wisata di sana.

Hal itu diwujudkan Telkom Indonesia, dengan membentangkan kabel FO melalui proyek Telkom Indonesia Palapa Ring paket wilayah tengah yang melintasi 17 kabupaten/kota di pulau Kalimantan –termasuk Mahulu–, Sulawesi, Maluku Utara yang panjanganya 2.995 KM.

Dan dengan bentangan FO itu, warga Mahulu sudah dapat menikmati varian paket 3P Indihome, dengan kecepatan 30MBps, 20MBps, 10MBPs dengan varian harganya yang terjangkau pula.

Sehingga menjadikan IndiHome benar-benar  internetnya indonesia bagi warga Kaltim.

Nah artinya kenyataan dahulu, dan apa yang terjadi kini, menanggalkan sebuah kemudahan bagi warga lokal Kaltim untuk lebih memaksimalkan peran manfaat internet menunjang aktivitas harian.

Terutama dalam konteks pelestarian cagar budaya etam, yang masih terjaga.

Taman Samarendah malam hari I Dokpri
Taman Samarendah malam hari I Dokpri
Riam sungai Mahakam I Dokpri
Riam sungai Mahakam I Dokpri
Masyarakat adat dayak Mahulu I exotic Kaltim
Masyarakat adat dayak Mahulu I exotic Kaltim

Dan terpenting lagi, kehadiran IndiHome itu akan mampu memberikan semangat bagi siapa saja yang ingin berwisata, meneruskan perjalanan susur Mahakam kami hingga ke hulu Mahakam sana.

Dan akhirnya menemukan lebih banyak lagi situs cagar budaya, menjamu dahaga berwisata di bumi etam kelak.

Yuk ditunggu, berwisata di banyak situs cagar budaya etam, untuk memantik ragam konten digital, membagikannya ke dunia maya real-time, memanggil kepedulian dunia, menjadikan situs cagar budaya etam,  sebagai destinasi wisata prioritas di IKN kelak.

Eh aku tunggu ya!

Kamu juga harus baca artikel ini!

error: Content is protected !!