Menghadirkan Essensi ESG Koorporasi, Mengeksploitasi Negeri!

Semakin tinggi skor ESG Koorprasi yang berada di sekitar kita tentunya akan mudah mendorong tercipatnya ekonomi hijau kita kan? Dan terpenting hal diatas bisa mengimprovisasi hadirnya ekonomi hijau lebih mengalir lagi di industri kelapa sawit kita kedepan.

Ilustrai kelapa sawit

Ambisi daerah mempergunakan Hak Otonomi Daerahnya guna mewujudkan istilah kesejahteraan masyarakat terus saja menggebu ya?

Tak heran-lah jika aktivitas eksploitasi yang lekas mendatangkan PAD besar, guna mendukung pembiayaan operasional pembangunan daerah pun lekas mudah dihadirkan. Ya terutama mempersilahkan bisnis super padat-modal.

Jika kita bersandar pada UU Pasal 33 ayat 3, ya wajar saja semua itu dilakukan, terus apa yang salah?

Namun, ketika kita bercermin, jangan heran, melihat wajah bumi kita terlihat kusam, karena sudah terpapar residu banyak aktivitas eksploitatif SDA apa aja.

Dan akhirnya berdampak kembali pada beban ekonomi negara, di masa depan. Artinya, ya akan begitu banyak biaya yang harus disiapkan dan dikeluarkan menalangi masalah lingkungan ini.

Dan yang paling penting lagi, masalah lingkungan pastilah akan mampu menulari masalah baru yakni masalah sosial dan ekonomi di masyarakat.

Mencermati, elemen tadi, yakni lingkungan (Environment), sosial (Social) dan ekonomi kita akan sepakat sajalah, jika masalah lingkungan akan menjadi kata kunci yang penting di kehidupan kita ini.

Nah, di tahun 2020 ini kita bisa saja mencatat setidaknya terdapat 4 permasalahan lingkungan yang sudah menjadi beban dan ancaman di kehidupan di sekitar kita. Merasakah? Apa saja itu?

  • Sampah plastik

Jurnal Sains, Nature melaporkan terdapat 11 juta ton plastik masuk ke lautan setiap tahunnnya lho! Hal itu sudah serta merta merusak habitat satwa liar dan biota perairan.

Diramalkan jika tidak ada tindakan pencegahan membanjirnya limbah plastik. Diramalkan pula di tahun 2040 akumulasi sampah plastik melonjak menjadi 29 juta metrik ton di lautan.

  • Polusi udara

WHO memperkirakan 4 hingga 7 orang meninggal akibat polusi udara di seluruh dunia, setiap tahunnya. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi ke depannya kan, tentang masalah pulusi udara ini?

  • Ketersediaan air bersih

Selalu harus kita ingat! Jika ternyata hanya 3% air di dunia adalah air tawar yang bisa dikonsumsi manusia, dan dua pertiganya tersimpan di gletser beku atau tidak mampu dijamah manusia.

Bersyukurlah kita yang masih mampu mengkases ketersediaa nair bersih ya? Karena terdapat 1.1 miliar orang di dunia sangat merindukan ketersediaan air bersih itu.

  • Hilangnya kenakearagaman  hayati

WWF melaporkan bahwa ukuran populasi mamalia, ikan, burung, reptil dan amfibi telah mengalami penurunan rata-rata 68% antara tahun 1970 sampai 2016. Ilmuan menyimpulkan jika tanpa perusakan alam oleh manusia tingkat kehilangan ini akan memakan waktu ribuan tahun.

Nah jika kita meraba keempat masalah lingkungan globaI tadi. Mata dan hati kita bisa saja lekas spontan tersadar atas apa yang sudah kita kerjakan.

Dan akhirnya mampu melihat dan mengoreksi pula aktivitas-aktivitas industri eksploitatif yang sudah, dan sedang meraja di daerah sekitar kita.

Dan pastilah saat ini juga, kita sudah mampu untuk segera menghayalkan 1000 gagasan apa yang segera menjadi status baru di akun media sosial kita. Sudah? Kira-kira apa yang sedang kita pikirkan saat ini yok?

Nah, istilah ekonomi hijau berkelanjutan, ya bisa saja menjadi istilah segar, yang memuat harapan manusia dan alam ini, agar mampu duduk berdampingan dan saling bercengkarama.

Ups, bahasa-bahasa seperti itu terasa romantis dan seakan ‘semu’saja deh! Pertanyaannya ya langsung saja, mampukah kita wujudukan segera ekonomi hijau tadi?

Kaltim di antara batu bara dan kelapa sawit!

Mengupas cerita apa saja yang terdapat di daerah Kalimantan Timur –misalnya-, yang saya pijak kini, memang tidak ada habis-habisnya untuk diceritakan!

Provinsi Kaltim bagi saya, bisalah menjadi salah satu model daerah yang –hingga kini- aktif menjaja komoditas SDA nya. Dan seperti biasa juga, Pro kontra terhadap arah kebijakan eksplotasi SDA dari Pemerintah daerah pun berhamburan kemana-mana.

Dokumentasi Pribadi

Harus diakui jika batu bara adalah salah satu sumber komoditas yang menghasilkan banyak pundi PAD, dan telah mampu mengangkat derajat Kaltim sebagai top-ten penyumbang PDB negara.

Coba saja, jika mengintip produksi batu bara Kaltim yang sudah direkap selama 14 tahun dari tahun 2004-2017. Kita menemukan tren jumlah total produksinya yang mencapai 2.68 miliar ton, ya setara dengan materi senilai Rp 2.680 triliun rupiah (1 USD- Rp 14.000)

Namun dibalik kesuksesan itu, permasalahan lingkungan pastilah bersahut-sahutan. Jatam Kaltim memperkirakan aktivitas pertambangan  batu bara Kaltim di tahun 2019, sudah mencetak 1.735 lubang tambang yang masih menganga hingga kini. Dan memerlukan dana sekitar Rp 39.6 Triliun untuk memulihkannya lagi.

Dan, ya pastilah keseharian lubang tambang tersebut memproduksi issu lingkungan yang berkembang paska operasi tambang. Artinya, kehadiran perusahaan tambang batu bara –hanya- terkesan menghadirkan kenikmatan sesaat bagi daerah dan warga daerahnya?

Selanjutnya dewasa ini, Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi ide segar menjawab kebuntuan atas pro dan kontra terhadap kebutuhan energi fossil bagi kehidupan saat ini.

EBT seakan menjadi harapan baru, untuk mampu mengakhiri hal-hal negatif apa saja atas jejak eksploitasi SDA fosil yang tak terbaharukan.

Hal itu tercermin dari filososfi istilah keberlanjutan yang diusung bisnis EBT di kehidupan masyarakat kini. Dan harapannya akan membawa perbaikan lingkungan, serta perbaikan ekonomi masyarakat, secara adi dan seimbang.

Oleh sebab itu, tak heran kehadiran massifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit dipilih dan menggurita di berbagai daerah, termasuk ya di Kaltim ini.

Industri perkebunan kelapa sawit tentu dapat menghasilkan berbagai produk turunan  yang ramah lingkungan seperti yang terpenting produk Biodiselnya.

Jika kita lihat, dalam kurun waktu 2011-2017 tren lahan yang sudah dikonversi untuk perkebunan Sawit di Kaltim mencapai 78.600 Ha/tahun itu artinya berkembang dari tahun 2011 sampai 2017 sebnayak 15.2%. Dan di tahun 2019 tercatat tutupan Sawit di Kaltim mencapai 1.3 juta Ha.

Namun, ya seperti yang terjadi pada bisnis batu bara, ekspansi perkebunan kelapa sawit juga –pastilah- menghadirkan dampak lingkungan sosial, dan ekonomi.

Secara umum, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyebut jika belum ada korelasi antara masifnya ekspansi bisnis sawit terhadap kesejahteraan masyarakat kok.

Hal tersebut dibuktikan 10 provinsi yang massif melonggarakan kebijakan perkebunan kelapa sawitnya, dan hanya terdapat  3 desa yang memiliki tingkat kesejahteraan yang baik. Lalu  kemana sisanya?

Dan apa ya yang harus kita lakukan, menanggapi keserbasalahan eksploitasi SDA yang kita miliki ini?

Yang sebenarnya menurut saya, semuanya memiliki cita-cita luhur untuk meyakinkan pada kesejahteraan masyarakat daerahnya juga kan?

Meskipun kita sadar sesadar-sadarnya jika eksploitasi itu pastilah menghadirkan degradasi, dalam hal ini ya degradasi lingkungan, yang merembet pada masalah sosial dan ekonomi!

Apakah jalan terbaiknya, adalah Pemerintah daerah Kaltim  hanya berdiam diri saja, dengan tidak melakukan ijin eksploitasi SDA apapun? Agar kebijakan ini benar-benar meyakinkan masyarakat daerah akan baik-baik saja?

Ekonomi hijau Kaltim, antara tantangan dan harapan!

Di masa kini, bisnis Energi Baru Terbarukan (ET) menggurita di mana-mana. Bisnis EBT ini diyakini mampu mewujudkan misi keberlanjutan sesuai dengan arah bisnisnya, yang meninggalkan bisnis energi fosil sebagai bahan bakunya yang tidak ramah lingkungan.

Hal itu menguat kita rasakan, dengan fenomena banyak perusahaan migas besar di Eropa yang mulai mengalihkan fokus bisnisnya ke bisnis EBT. Pertanyaannya apakah mereka semata-mata ingin melihat bumi kita harus terlihat bersih?

Padahal jika dipikir dari sisi keuntungan mereka pastilah terganggu kan?

Dan menurut saya, investasi EBT memang memiliki resiko bisnis yang rendah, karena kontrak kerjanya yang berjangka panjang.

Oleh karena itulah membuat godaan institusi keuangan bersedia mendanai proyek bisnis EBT. Hal tersebut berbanding terbalik dengan bisnis eksplorasi migas –misalnya- yang memiliki resiko bisnis besar.

Dokumentasi Pribadi

Nah karena resiko bisnis EBT rendah maka tingkat pengembalian modalnya juga rendah. Sebaliknya energi tak terbarukan seperti bisnis energi migas dan pertambangan, pastilah memiliki tingkat resiko tinggi, maka tingkat pengembaliannya modalnya juga besar.

Namun, harus disadari kebutuhan energi di masa depan tak terelakkan untuk disediakan.

Dan oleh karena itu pastilah kita setuju jika binis EBT harus terus dikembangkan di indonesia, untuk mampu mengganti eksploitasi energi fosil, yang terbukti menularkan banyak masalah lingkungan dan keberadaanya pun kini terbatas. Setujukah?

Harapan kita?

Nah, dengan karakterisktik bisnis EBT yang berdurasi lama itu, tentu terselip harapan, akan hadirnya pula aktivitas keberlanjutan dalam penggarapan bisnisnya kan?

Dimana istilah keberlanjutan tentu bisa memberikan celah bersama untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat di sekitar dan juga Perusahan itu sendiri.

Hal ini, pastilah akan mampu bisa menjadikan pengalaman baru, untuk masyarakat kita bisa rasakan.

Dan bisa membandingkannya ketika dahulu mempersilahkan bisnis energi tak terbarukan, seperti batu bara dan migas untuk beroperasi. Dimana jejak eksplotasi energi tak terbarukan yang sudah kita lewati, belum terbukti memberikan value kepada masyarakat.

Jawabanya ya kembali lagi, karena perusahaan migas dan pertambangan selalu dituntut oleh faktor pengembalian modal investor yang tinggi, dalam merekayasa faktor resiko bisnisnya.

Oleh sebab itu, kita bisa saja menghayalkan rezim ekonomi hijau tadi hadir di masyarakat daerah ya lewat bisnis energi terbarukan ini kan?

Ekonomi hijau adalah sebuah rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi resiko lingkungan.

Ekonomi hijau juga bisa diartikan sebagai perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbondioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Nah dari narasi dari atas sampai ke bawah ini, tentu mampu menyebutkan jika komoditas produk kelapa sawit mampu sebagai pengganti energi tak terbarukan fosil lewat produk Crude Palm Oil (CPO)nya di masa depan.

Dan dari CPO itulah nanti bisa mengubahnya menjadi ke berbagai produk, seperti produk Biodisel ramah lingkungan, yang sedang diperjuangkan pengganti BBM fosil.

Dan pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana meyakinkan jika semua proses produksi EBT dari komoditasa kelapa sawit, akan selaras dengan prinsip ekonomi hijau di atas ya?

Tantangannya lantas?

Namun dari fakta yang ada, dari sisi ekonomi, kebijakan menghadirkan industri kelapa sawit Kaltim memang belum sempurna. Hal itu ditunjukkan dengan ketdakmampuan Kaltim menghadirkan produk hilir Crude Palm Oil (CPO) yang dihasilkan itu.

Produk turunan CPO tersebut adalah biodisel, gliserol, ethylene glycol dan asam stearate. Selain itu produk lainnya berupa lemak nabati non-makanan, bahan kimia, pewamgi, dan kosmetik, sabun, serta surfaktan.

Dan hingga kini, produk hilir tadi di Kaltim masih terbatas diproduksi. Jika dibandingkan dengan produksi produk hilir CPO di Sumatra Utara dan Riau.

Hambatannya pun lantas melintang, mulai dari pasokan listrik yang besar dan juga kebutuhan air tawar untuk pendinginan mesin. Selain itu, faktor regulasi, lahan, pengelolaan infrastruktur masih teramat sulit disediakan.

Dan terpenting, proses hilirisasi itu pastilah memakan proses waktu. Faktor inilah yang rasanya sulit meninggalkan bisnis batu bara, karena secara jangka pendek, sektor bisini batu bara ya akan masih menjadi andalan.

Terlebih kini PLN berencana mengusahakan untuk menghadirkan teknologi yang ramah lingkungan untuk PLTU-nya dan juga teknologi anyar PLTD yang masih berbasis solar

Dengan teknologi baru itu, diharapkan tingkat emisi yang dihasilkan dari PLTU batu bara hanya berkisar 1.3 kilogram per kilowat (kwH), dapat menekan emisi menjadi 950 gram per kwH.

Nah dari titik ini, saja teryata proses transisi batu bara ke produk EBT kelapa sawit masih sulit dilakukan, mengingat peranan batu bara –memang- masih terus dominan dan terus dibutuhkan.

Apa seribu gagasan kita?

Studi Centre For Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebutkan Indonesia  memang masih memiliki tingkat polusi udara yang paling berbahaya di Asia Tenggara. Nah, terdapat 7 faktor yang mempengaruhi polusi udara itu, yakni :

  1. Emisi karbondiokasida dari pembakaran bahan bakar
  2. Konsentrasi PM2.5 di area perkotaan
  3. Kualitas sumber air minum
  4. Jumlah limbah
  5. Area hutan
  6. Kawasan lindung dan daerat
  7. Kematian akibat polusi udara

Nah dari ke tujuh faktor itu, bisalah menjadi penuntun kita, untuk menilai seberapa efektif aktivitas bisnis pemanfaatan sumber daya alam kita kemudian,, yang selaras dengan alam dalam konteks lingkungan.

Artinya, dengan terus menekan bobot angka dari tujuh parameter itu, menjadi lebih baik, akan menjadikan keberhasilan ekonomi hijau kita untuk berpacu pada nilai keberlanjutan.

Nah pada akhirnya kita pastilah mampu bersama mengerucutkan pada pilihan terbaik kita, jika kehadiran EBT akan mampu memberikan harapan ekonomi hijau itu untuk terwujudkan.

Kelapa Sawit Baik?

Jika dirasa-rasa, secara tidak langsung kita sudah terlanjur mempersilahkan bisnis EBT masuk sekaligus menyambut hangat dengan menyediakan alas untuk usahanya.

Dalam hal ini, tentu saja kita sudah lugas menunjuk komoditas kelapa sawit sebagai salah satu objek dalam mewudjukan EBT masa depan. Hal itu logis lah untuk diungkapkan!

Menurut saya, pemilihan kelapa sawit itu wajar dipilih, karena SDA dan pangsa pasar dari produknya sendiri sangat layak dan memungkinkan untuk digarap.

Dan selanjutnya, bagaimana istilah keberlanjutan dari bisnisnya akan menjawab semua pekerjaan, selaras dengan ekonomi hijau.

Nah, sebenarnya dalam aplikasi berbisnis kelapa sawit bagi Koorporasi sangatlah berliku kan? Setidaknya ada 4 peraturan yang harus dipahami dan dilaksanakan dan bermuara pada terciptanya keseimbangan ekonomi dan lingkungan serta masyarakatnya. Iya dan bisa bermuara pada terwujdunya ekonomi hijau.

Misalnya Kepres no 32 tahun 1990, yakni tentang batasan ataupun perlindungan  area huutan yang boleh dan tidak. Lalu UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya. Dan juga Permen pertanian no 11 tahun 2015 tentang CPO. Dan yang paling krusial adalah UU  No 32 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Dan dengan perangkat kebijakan yang berat ini tentu saja menjadikan pertanyaan balik bagaimana isu lingkungan itu bisa menjadi ancaman yang menakutkan bagi kita semua saat ini ya? Apakah sisi supervisi dari Pemerintah belum tegas dan terukur?

Terlebih kini, kebijakan yang membuka keran EBT dari komoditas kelapa sawit, ternyata masih diketahui belum berhasil memberikan dampak perekonomian masyarakatt yang daerahnya yang dipakai sebagai alas industrinya perkebunan kelapa sawit.

Hadirnya kebijakan yang mampu Menjaring Koorporasi beressensi ESG!

Jika saya harus menjawab pertanyaan di atas, utamanya menjawab bagaimana perbaikan kualitas bisnis EBT, yang kita butuhkan di masa depan?

Jawabanya tentunya adalah dengan harus hadirnya kebijakan yang tegas atas regulasi yang sudah ditelurkan kini.

Dan, sebaiknya hadir kebijakan yang melakukan penjaringan ulang kepada Korporasi yang beressensi Environtmental, Social and Governance (ESG) untuk hadri dan mampu mengeksploitasi negeri ini.

ESG sebenarnya adalah sebuah standart perusahaan, yang memenuhi kriteria enviromental (lingkungan), social (sosial) dan Goveranance (Tata kelola perusahaan).

Artinya perusahaan yang mampu menerapkan prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya, akan turut pula mengimplemanetasikan kebijakan perusaahaannya, yakni istilah-istilah keberlanjutan itu.

Kriteria lingkungan (Enviromental) misalnya akan menjadikan pertimbangan utama perusahaan melakukan performa keuangan dan operasi tinggi namun bersifat berkelanjutan dan tidak merusak alam.

Kriteria sosial akan berusaha mendalami hubungan baik antara masyarakat luar dengan perusahan maupun antara pekerja, pemasok produk, pelanggan komunitas dan sebaginya.

Kriteria tata kelola (Governance) perusahaan membahas mengenai kapasitas dan legitimasi perusahaan, hubungan internal, kontrol internal, dan pembagian hak hak investor secara proporsional.

ESG sangat tearmat penting, karena dalam praktiknya portofolio dengan skor ESG yang tinggi akan mengungguli investasi pesaing di masa depan.

Serta Perusahan yang menerapkan ESG yang aktif dan efektif akan mengalami biaya modal rendah, pendapatan stabil dan resiko pasar rendah dibandingkan perusahaan yang mendapatkan bobot ESG yang rendah.

Hadirkan Essensi ESG Mengeksploitasi negeri, sekarang!

Nah dalam praktiknya, untuk mengenal Koorporasi telah menjalani prinsip ESG dalam kinerjanya yakni :

1. Penggunaan bahan bakar operasional yang ramah lingkungan

Nah, dalam penilaian ini, kita bisa saja melihat sejauh mana keseriusan perusahan yakni memiliki kinerja dan kapasitas untuk mampu mengurangi penggunaan sumber daya alam dan mampu menemukan solusi yang lebih ramah lingkungan. Caranya yakni selalu memperbaharui supply chain management

Hal tersebut bisa kita lihat dengan perusahaan atau korporasi yang telah mampu –misalnya- menyediakan sarana untuk memanfaatkan sinar matahari sebagai bahan bakar mesin produksinya.

2. Penanganan limbah yang baik

Penilaian selanjutunya adalah, apakah perusahaan itu juga berhasil dan mampu dalam  mengurangi emisi lingkungan selama proses produksi dan semua operasional perusahaan secara efektif?

Hal tersebut bisa kita lihat dengan bagaimana usaha mereka memperlakukan limbahnya untuk mengurangi kandungan berbahaya sebelum dibuang ke lingkungan.

Hal tadi bisa dilakukan Perusahaan dengan melakukan kemitraan masyarakat dalam lingkup UMKM untuk mengurai limbah produksi menjadi produk baru. Hal ini lebih dikenal dengan menjalankan ekonomi sirkular, yang tentu saja mengharapkan zero waste pada produk akhir mereka.

3. Perusahaan mampu berinovasi!

Terakhir, karakter perusahaan atau Koorporasi yang beressensi ESG yakni apakah perusahan mampu mengurangi biaya dan beban lingkungan bagi pelangan? Tujuannya ya agar menciptakan peluang pasar baru dengan teknologi dan produk ramah lingkungan.

Contoh nyata yang bisa kita lihat adalah, inovasi Perusahaan yang beralih menggunakan plastik daur ulang sebagai bahan baku produknya.

Nah saya kira mendoktrin semua Koorporasi dengan semangat ESG, akan memampukan kita semua untuk mengurai permasalahan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat yang bermuara pada ekonomi hijau yang kita cita-citakan sebelumnya.

Semakin tinggi skor ESG Koorporasi yang berada di sekitar kita, tentunya akan mudah mendorong terciptanya ekonomi hijau kita kan? Dan terpenting hal diatas bisa mengimprovisasi hadirnya ekonomi hijau yang lebih mudah mengalir lagi di industri kelapa sawit kita kedepan.

Referensi

  1. https://katadata.co.id/padjar/infografik/60081a1d26726/kemiskinan-membayangi-provinsi-kaya-sawit
  2. https://kaltimkece.id/warta/ekonomi/mengurai-rp-2680-triliun-nilai-batu-bara-yang-belasan-tahun-dikeruk-di-kaltim
  3. https://kaltimkece.id/warta/ekonomi/lesunya-industri-hilirisasi-di-kaltim-pemda-dan-investor-beda-pandangan-soal-clean-and-clear?
  4. https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/18/132115026/energi-fosil-tergerus-konservasi-energi-kian-penting

Kamu juga harus baca artikel ini!

error: Content is protected !!