Soal romantisme, terkadang bisa menjadi hal sederhana, spontan dirasakan, ketika merenung tentang alam di setiap peringatan hari Kelautan. Dan pasti kita terlupa masalah global nan penting, yakni perubahan Iklim yang tengah mengancam hal indah Romantisme tadi. Dan setelah berhasil memahaminya. Pasti kita akan bertanya, apakah laut masih bisa dibanggakan di masa depan, menuangkan candu Romantisme bersama orang yang kita sayangi, kala berwisata?
Sekilas pasti ada yang kenal dengan empat bait petikan lirik lagu Seberapa Pantas milik Band Sheila On Seven (SOS). Kenal?
Nah, tetiba saja petikan lirik itu, kok pantas saya pilihkan dalam mengelaborasi jawaban pentingnya membanggakan serta menjaga laut Indonesia yang seluas 6.4 juta km2 itu, dari ancaman Perubahan iklim yang ekstreem, di perenungan saya di hari kelautan 2 juli barusan.
Wajar saja sih jika mengingat Sumber Daya Perairan Indonesia, bisa saja angan kita melayang pada tempat wisata alam pantai dan laut yang asik-asik. Tanjung kelayang, Kepulauan Seribu, Mandalika, Pulau Morotai atau Taman Nasional Wakatobi, sampai Raja Ampat. Kapan bisa kesana?
Nah mengunjungi tempat wisata alam pantai dan laut, tentu saja tanpa sadar kita sudah terlibat menggerakan sebuah industri raksasa yang bernama Pariwisata. Karena industri ini sudah mencipta 12 jutaan lapangan pekerjaan atau 10 persen jumlah penduduk Indonesia yang kini telah bekerja. Ini di luar Industri perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
Nah saya hanya merasa tidak pas saja sih, jika kita seakan tutup mata soal kerusakan laut, serta polusi, yang ditinggalkan dari kegiatan berwisata dan mengekpolitasi hasil laut tadi. Paling gampang, ya membuang sampah di selokan misalnya, bisa jadi hal sentimentil dan terlupa untuk dilakukan. Ngaku deh?
Our Ocean Conference 2018 menyebutkan Perubahan Iklim sudah mengintervensi kelangsungan ekosistem laut lho. Tanda munculnya perubahan iklim tadi bisa kita lihat dengan hadirnya kenaikan suhu permukaan laut, pemutihan terumbu karang lebih cepat. Serta naiknya permukaan laut, tenggelamnya wilayah pesisir, perubahan pola badai sampai perubahan arus oseanik.
Namun Fenomena yang patut disyukuri jua yakni Pandemi Covid-19 yang bertepatan dengan hari Kelautan 2 Juli ini, sudah jua memberi arti kepada kita. Jika Laut juga perlu atensi, untuk sedikit dimengerti soal kebutuhan lingkungannya.
Dan itu sudah terbukti kok, dimana kehidupan laut selama Pandemi malah berhasil berseri-seri kembali, akibat berkurangnya Polutan limbah industri.
Kisah bagus ini bisa lekas kita buktikan dan nikmati di Pasca Pandemi. Ketika dibukanya aktivitas new-normal, dan kita akan dipersilahkan untuk bercengkrama dengan alam, dan laut kita, buat hepi-hepi.
Tapi janji! Kita harus menjaga laut kita, biar terus berseri, persis sama seperti yang terjadi selama Pandemi ini ya?
Mendengarkan Radio, bernyanyi sebuah lagu di Hari Kelautan!
Nah sembari menemukan lagu ter-romantis lewat Radio kesayangan kita, yang bisa membawa angan kita berwisata ke Pantai dan menyelami indahnya terumbu karang di lautan. Dan sekaligus merayakan pula hari kelautan tahun ini, lewat sebuah renungan.
Kita juga bakal banyak menemukan pengetahuan lain soal laut. Iya lewat siaran Radio KBR yang menggelar diskusi ruang Publik, dan mengangkat tema ‘Menjaga Laut di Tengah Pandemi.’
Obroalannya santai bersama dua Narasumber, ada mbak Githa Anasthasia, CEO Arborek Dive Shop Raja Ampat dan juga Pak M. Zainuri Guru Besar Undip Semarang.
Nah perbincangan soal dinamika perubahan Iklim ini, saya yakin bisa membantu saya dalam menjawab empat pertanyaan petikan lirik lagu SOS yang sengaja saya pilihkan di atas.
Nah harapannya, jawaban-jawaban tadi ya bisa memulihkan kebanggaan kita Kembali nih.,Ya tentu kebanggan terhadap kekayaan laut Nusantara dan menjaganya bersama dari ancaman Perubahan Iklim kini!
Seberapa hebatkah laut, untuk kubanggakan?
Berulang kali, kita selalu didoktrin, jika Indonesia adalah negeri bahari yang kaya raya lewat hasil lautnya. Bahkan disinyalir kekayaan itu sudah ‘bocooor’ kemana-mana, akibat salah pengelolaan?
Percaya? Entah benar atau tidak, anggap saja ini sebuah referensi berguna bagi kita, atau hanya hal kampanye biasa? Tapi jika kita tidak percaya, bisa saja kita ukur sendiri menyelami seluruh perairan Nusantara dengan mendatangi objek wisata laut yang seru-seru satu-satu. Berani?
Dari laman KKP, tercatat jika luas total perairan Indonesia adalah 6.400.000 km2, Panjang garis pantai Indonesia 108.000 km2, jumlah pulau yang tersebar sejumlah 17.504 pulau, -yang terdaftar di PBB terdapat 16.056 pulau-
Masih kurang? Itu belum lagi luas territorial Indonesia sekira 290.000 km2, zona tambahan Indonesia 270.000 km2, luas ZEE 3.000.000 km2, luas landas kontinen 2.800.000 km2. Serta Luas perairan pedalaman dan perairan kepulauan Indoensia mencapai 3.1 juta km2.
Nah melihat data ini tentu kita langsung berfikir. Bagaimana bangsa ini bisa lekas memanfaatkanya, ya dalam konteks ekspoitasi yang ramah lingkungan.
Bisa dari sisi industri perikanan sesuai amanat Undang-undang dasar, yang nanti berujung bagi kesejahteraan rakyatnya.
Meski yang terjadi di masa lalu, kebijakan Revolusi Biru, Hutan Mangrove selalu dikalahkan untuk dijadikan alas industri perikanan budidaya udang secara besar-besaran.
Tapi, saat ini sih nampaknya Pemerintah sudah bersiap mengekspoloitasi SDA laut kita itu kok! Sebagai tonggak baru, hari Kelautan tahun ini.
Buktinya dalam RPJMN 2020-2024 sektor pertanian ditargetkan tumbuh antara 3.8 hingga 3.9 persen pertahun. Dan Untuk merealisasikannya, sub sektor perikanan akan menjadi andalan untuk menggerakkan sektor primer dan pangan.
Dan diharapkan pula sektor perikanan menjadi pemantik ambisi besar Pemerintah bagi pertumbuhan nasional sebesar 5.4 sampai 6 persen pertahunnya, itu sudah tertuang di RPJMN 2020-2024 jua! Bisakah tercapai, di tengah Pandemi ya?
Nah, bukan industri Perikanan saja yang berpesta. Industri lain yakni Pariwista juga tengah menyambut potensi itu dengan menyiapkan banyak hidangan eko-wisatanya plus kuliner sea-foodnya.
Ini pilihan jitu saya kira, karena logikanya, Pariwisata memang selalu hadir berdampingan dengan beragam sub-sektor lainnya, seperti industri transportasi, akomodasai hingga industri usaha mikro (UMKM). Ini pengaruhnya bagai efek domino, dahsyat!
Nah wajar sih peluang Pariwisata terus digenjot karena jika dibanding dengan negara tetangga, jumlah wisatawan asing Indoensia belum sebanding. Pada tahun 2018 saja misalnya, devisa sektor ini bisa mencapai Rp 229,5 trilun atau meningkat 15.4 persen secara tahunan. Meski sekarang melorot akibat tingkah Pandemi.
- Baca juga : Yuk bersiap berburu Pesut Mahakam!
Angka ini bisa dijadikan tren positif di masa yang akan datang, ya di pasca Pandemi? Karena koleksi Devisa menjadi hal terpenting bagi pertumbuhan ekonomi negara yang bisa dihasilkan dengan mudah dari sektor Pariwisata ini.
Nah dari sedikit prolog ini, tentu saja, Laut Indonesia selalu saja bisa menjadi bualan, andalan dan kebanggaan nyata yang bisa kita ulang-ulang ceritanya kepada siapa saja kan?
Meski bisa saja kebalikannya, jika SDA laut ini akan habis kapan saja, yang -mungkin- diberangus oleh perubahan Iklim akibat keserakahan kita sendiri dan ketidakpedulian kita dengan alam. Tapi tegakah kita melakukan itu ya?
Cukup tangguhkah laut untuk selalu kuandalkan?
LIPI di tahun 2018 mencatat, penyebab kerusakan terumbu karang itu karena bom ikan, penambangan karang, dan lainnya. Kondisinya saat ini 36% buruk, cukup 34 %, baik 23 % dan sangat baik hanya 6 % saja.
Sementara di tahun yang sama, LIPI jua mencatat kondisi Padang Lamun, dominan berstatus kurang sehat 80%, tidak sehat 15%, dan baik hanya 5%. Kerusakannya sendiri adalah akibat sedimentasi, pencemaran, dan lainnya.
Sedangkan kabar kondisi hutan Mangrove, menurut Kemenko Perekonomian di 2017. Sebagiannya sudah rusak. Dari tiga juta hektar tersisa, 52% rusak dan 48% masih baik.
Nah data-data ini, merupakan raut-rupa laut kita kini, yang sudah dieksplotasi dari segala sisi dari dulu hingga hari hari Kelautan kali ini.
Baik industri perikanan, pariwisata dan industri manufaktur lainnya yang menjadikan pesisir pantai menjadi alas industri untuk memudahkan mereka mengalirkan limbahnya ke lautan.
Serta jangan lupa, adapula aktifitas manusia -aku dan kau- di daratan seperti membuang sampah sembarangan, seperti bungkus permen, yang kini menjadi makanan favorit biota laut yang mematikan!
“Perubahan Iklim yang sudah terasa adalah tenggelamnya -hilangnya- 3 desa di Demak dari garis pantai sepanjang 2.6 Kilometer,”
M. Zainuri, Guru Besar Kelautan, Undip
Padahal lho, Terumbu karang, Mangrove dan Padang lamun, merupakan tempat penting yakni sebagai nursery ground, tempat berkembang biak. Dan tempat bertumbuhnya ikan muda untuk mencari makanan di sana.
Tapi dibalik kabar itu, bersukurlah masa Pandemi yang terjadi sejak awal tahun lalu, malah disinyalir memberi arti lain yang lebih positif, untuk alam dan laut kita, untuk bisa bernafas kembali.
Dan tergambar dari berkurangnya polutan akibat aktivitas manusia yang dibuang ke laut dan dan melepaskan beban biota laut untuk bisa tumbuh dan survive lagi! Terutama ya berkurangnya limbah industri pabrik selama Pandemi ini.
“Januari sampai Juni adalah waktu reproduksi biota laut,”
M Zainuri, Guru Bedar Undip
Buktinya, bisa terlihat kembali dengan penampakan ikan Napoleon (Cheilinnus undulates) yang muncul kembali di masa pandemik dan terpantau di Kawasan konservasi Perairan Nasional (LKKPN) pertengahan Mei 2020 lalu. Padahal jenis ikan indukan Napoleon dengan bobot besar ini sudah jarang dan malah sudah tidak pernah terdeteksi semenjak 1994 lalu. Ada apa ya?
Hal positifnya adalah dimana biota laut kini tengah menemukan kesimbangan alam, dengan tumbuhnya terumbu karang secara alami yang digunakan sebagai rumah ikan langka Napoleon ini. Untuk bersembunyi dan sekaligus tempat mencari makan yang nyaman dan aman.
Itu saja? Tidak. Adapula cerita dari Desa Les Buleleng, dimana Yayasan LINI menemukan hasil positif lainnya. Jika sejak Agustus sampai April 2020, terpantau tumbuhnya karang secara alami di klaster pengamatan.
Artificial reef yang digunakam sudah bisa menumbuhkan karang sendiri, satu reef ada rekrutmen belasan dan puluhan karang, intinya ya trennya setiap bulan terus ada penambahan karang alami.
Artinya? Ya dengan fakta ini, industri Perikanan dan Pariwisata yang dipaksa vacuum oleh Pandemi sudah memberikan obat mujarab buat alam, untuk bisa aktif berproduksi lagi.
Dua fenomena Pandemi dan alam ini tentu bisa menjadi pelajaran penting di hari Kelautan, untuk bagaimana menemukan cara efektif memperlambat laju dampak perubahan iklim yang sedang massif dengan mengubah perilaku dan kebijakan yang tidak pro dengan alam.
Dan terpenting, bisa jadi bahan evaluasi, jika tindakan kita sebelum masa Pandemi telah mengundang perubahan iklim dengan naiknya suhu permukaan dan -bahkan- suhu pedalaman air laut.
Dan ya akhirnya sudah menyebabkan banyak dampak bencana di daratan kan? Seperti banjir air rob, intrusi air laut dan penurunan tanah.
Mampukah laut bertahan dengan hidupku yang malang?
Ya selamat! jika Pandemi sepertinya sudah berjodoh dengan alam. Tapi lihat saja, jika Pandemi malah membuat masalah ekonomi global. Dan mengakibatkan banyak hal, terutama maslah kesehatan dan ekonomi manusia, dan memaksa kita ‘cupu’ di rumah saja.
Namun kondisi ekonomi yang perih ini, tidak lantas membuat masyarakat Pesisir pasrah dan hanya berada di rumah! Mereka masih bisa terbantu oleh dampak positif laut di masa Pandemi ini.
Karena dengan produksi biota laut yang berlimpah di masa Pandemi, membuat asupan bahan makanan harian -terutama ikan- bisa terpenuhi dengan mudah.
“Mereka yang asalnya nelayan, dan beralih menjaid pemilik hotel, selama Pandemi ini Kembali lagi menjadi nelayan memcari ikan,”
Gita Anastahsia, CEO Arborek, Raja Ampat Papua Barat.
Seperti cerita mbak Gita di Arborek Raja Ampat, laut ternyata tidak sombong ketika manusia susah dan masih memberikan hasil, di masa Pandemi ini. Meski pariwisata mati suri.
Membaiknya kondisi laut kita, ungkapnya, merupakan angin segar, dan bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memetik hasil laut dalam memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, seakan menyambut dan merayakan Hari Kelautan yang sebenarnya.
Dan tentu, pekerjaan rumahnya bagaimana kondisi ini bisa menjadi inspirasi, jika kita kita akan pernah kehabisan energi bahan makanan di laut. Jika saja kita jua turut memperhatikan keberlangsungan kehidupan biota di dalamnya.
Terutama tingkah laku dalam over-fishing nelayan yang masih menggunakan alat penagkapan yang terlarang yang bisa merusak terumbu karang dan Mangrove untuk berkembang dan memberi manfaat.
Sanggupkah laut meyakinkan di saat kita bimbang?
Eksploitasi selalu saja menghadirkan degradasi, hukum alam yang selalu -dan pasti- berlaku! Hingga kita berdiri merenungi hari Kelautan saat ini.
Namun kembali lagi pada satu keyakinan, jika Tuhan sengaja menitipkan alam dan kekayaannya agar bisa dimanfaatkan sebesar-besarnyanya oleh manusia kan?
Terlebih hal itu sudah tertulis gamblang di dalam UUD 1945 pasal 33(3), ingat? Dimana mempersilahkan pengoptimanlan kekayaan SDA Nusantara. Ya atas nama kesejahteraan bersama.
Nah bagi saya, tafsir ‘boleh memanfaatkan’ ini bisa jua menjadi awal dari sebuah niat baik atau -bahkan- buruk dari semua pihak.
Dalam riset Sutomo dan Marheni 2015, yang menyebutkan jika Nelayan miskin di Indonesia sebanyak 24%. Dimana peyebab kemiskinannya dikarenakan adanya keterbatasan modal, keterampilan, dan fluktuasi musim penangkapan, serta budaya over-fishing.
Nah dari studi itu, banyak sekali faktor yang bisa dikelola, menjawab penyebab kemiskinan yang merupakan antithesis kesejahteraan yang kita ingin tuju itu.
Namun ya gitulah, yang terjadi saat ini, setiap pergantian rejim pemerintahan atau stake-holder -misalnya- selalu saja menjadi anti-thesis dari kebijakan rejim sebelumnya yang dianggap sudah ‘baik’
Misalnya, yang terbaru KKP sudah memperbolehkan menggunakan 8 alat penangkap ikan (API) yang sebelumnya dilarang lewat Kepmen 86 tahun 2016, soal produktifitas kapal penangkap ikan.
Kini delapan alat baru, yang memasukkan cantrang yang dilarang, sudah bisa digunakan kembali melalu KP No B.717/MEN-KP/11/2019. Tentang kajian terhadap peraturan bidang kelautan dan perikanan. Tanya kenapa?
Terlebih kebijakan ‘politis‘ tadi selalu ditujukan atas nama kesejahteraan rakyat atau nelayan sebagai ‘konstituen’, tanpa memperhatikan pendapat alam lagi sih.
Nah kita jadi bimbang kan jadinya? Namun ya kehidupan selalu saja harus tetap berjalan, termasuk aktifitas eksploitasi yang dilakukan manusia yang akan -selalu- beracuan pada sisi untung dan rugi saja. Tapi tenang saja, sekali lagi! Buktinya, hingga hari ini laut masih sanggup melayani kebutuhan itu.
Meski dengan banyak hal kebimbangan kita dan para stake-holder kita yang tidak selalu bersatu suara dalam mengelola kekayaan laut kita, terlebih ancaman Perubahan Iklim.
Ya intinya sih, semua fenomena positif yang terjadi di laut saat ini, bisa menjadi catatan stake-holder dan kita sebagai masyarakat untuk memproduksi kebijakan dan aturan yang bisa menampung pendapat alam juga kan?
Yuk menjaga laut di tengah Pandemi!
Saya teringat Pemuteran, ya itu salah satu desa di Buleleng Bali. Dimana dahulu, Pariwisata lautnya pernah meraja, lantas ambruk berkeping-keping dan mengakibatkan ekonomi nelayan yang merosot dalam.
Hal tersebut hanya dikarenakan penerapan metode penangkapan ikan oleh para nelayan yang tidak ramah lingkungan, polusi limbah, dan perilaku wisata di sana yang tidak ramah lingkungan juga.
Dan selanjutnya, hadirlah banyak program pelestarian yang berkelanjutan termasuk penanganan terumbu karang buatan, seperti program Biorock, yang berlangsung hingga kini. Dan seiring waktu, sudah membuat wajah Pariwisata Pemuteran di Buleleng bisa eksis, dan menjadi primadona Pariwisata kembali.
Secuil kisah tadi, bisa menjadi bukti jika kita bisa kok, bersatu padu dengan laut untuk memberikan solusi bersama. Ya yang pasti solusi itu bisa berupa hasil ekonomi dari keindahan laut dan segenap hasil yang terkandung di dalamnya, dan juga jaminan keberlangsungan biota lautnya jua.
Nah jika Prof M Zainuri, Guru besar Undip, sudah membanggakan Semarang, soal desa Tugurejo, Desa Bedono dan Desa Sriwulan di Jawa Tengah. Dengan keberhasilannya menyajikan duet maut alam-manusia dalam menggerakaan ekonomi Pariwisata dan Perikanan.
Di Kaltim juga punya Kawasan itu, Pak! Di Kaltim jua terdapat Kawasan pesisir Kelurahan Gersik di Kabupaten PPU, kawasan Kariangau serta Mangrove Centre, yang berada di Balikpapan.
Perlakuannya pengelolaan aktivitas perikanan dan eko wisatanya bisa jadi hampir sama. Aktivitas pertambakan di Gresik dan Kariangau sudah ikut jua menyertakan Mangrove dalam usaha pertambakan, dan dikenal menggunakan sistem pertambakan Silvo-fishery.
Dan hasilnya bisa menjalar pada kegiatan eko-wisata hutan Mangrove, berupa kuliner hasil UMKM warga setempat.
Intinya pengelolaan terpadu tersebut, berkelindan dengan pemahaman edukasi kepada petambak tentang peran penting Hutan Mangrove, bagi alam dan manusia.
Langkah konkretnya, adalah dengan mengikutkan tanaman Mangrove di dalam areal tambak, yang berfungsi sebagi Nursery Ground bagi komoditas udang yang dipelihara.
Dimana, terbukti Mangrove, jua bisa memperkuat tanggul tambak, dari proses pengikatan akar mangrove di dalam tanah. Dihitung secara ekonomi, model Silvo-fishery lebih menguntungkan.
Dan yang paling terpenting adalah, terciptanya Kembali Kawasan Mangrove dengan segenap fungsi ekologisnya. Yakni menahan gempuran ombak laut dan sebagai nursery ground biota laut lainnya.
Nah yang hebatnya lagi, di ujung pengelolaan ini, semua produk hutan Mangrove bisa dimanfaatkan kembali dalam memproduksi kuliner, selain komoditas perikanannya, seperti dodol Mangrove dan sirup Mangrove.
Serukan? Apalagi ada dari kita yang sudah pernah mengunjungi Kawasan Mangrove Center Balikpapan, yang jua menyediakan panorama hutan Mangrove yang lestari beserta flora dan faunanya, seperti Bekantan hidung merah.
Asik dan pasti seru? Nah jika penasaran, semua hal mengenai Silvo-fishery dan kehidupan duet manusia-alam di Kaltim sudah saya tulis sih dalam tulisan saya terdahulu, yakni Merajut hijau Mangrove, menjalani kehidupan bersama alam. Jika ada waktu, klik dan berkunjung saja yah!
Tindakan adalah Bukti!
Nah poinnya sih, bagi saya. Kondisi biota laut beserta fungsi ekologis ekosisitem laut yang kini sudah mendekati normal, apakah membuat kita jadi mau untuk menjaganya sebagai perayaan dan merenungkan Hari Kelautan?
Terlebih kita sudah mendapatkan banyak model pengelolaan kekayaan laut kita yang berhasil dipadukan dengan kegiatan ekonomi seperti perikanan yang dilakukan para petambak di sana.
Seperti model pengelolaan di Semarang tadi, atau di Kaltim sendiri yang saya ceritakan di atas.
Dan derah lain yang mau berbenah di zona Mangrove-nya bisa lekas, dan gampang men-copy-paste saja soal bagaimana model memadukan duet alam-manusia tadi, sehingga terjadi win-win solusi, antara alam dan jua manusia di dalamnya.
Nah jika jawabanya kita mau menjaga. Ya tentu saja ada syarat dan ketentuan berlaku yang harus kita sepakati dulu kan? Yakni mau mereset semua perilaku buruk yang tidak ramah lingkungan, terutama bagi semua pelaku wisata selama berwisata.
Dalam hal ini ikut melakukan hal yang sudah lama kita pernah dengar, eh namun kita sering pura-pura lupa melakukannya. Apa itu?
Pertama, jangan pernah lagi membuang sampah sembarangan ya? Terlebih sampah an-organik di selokan atau sungai, manapun selama berwisata. Nah proses latihannya, bisa berwal dari lingkungan rumah dulu deh. Jika lulus, ya lanjut!
Kedua, semua pelaku Pariwisata dan para Nelayan harus sadar untuk menggunakan penangkap ikan yang ramah lingkungan. Hal ini ditujukan bagi kegiatan memancing di alam, dengan tujuan hobbi berwisata atau malah komersil.
Ketiga, tidak membiasakan menangkap dan memelihara biota laut yang endemic dan langka selama berwisata di laut. Terlebih memegang dan menyentuh terumbu karang. Nah tambahan lainnya, jika sedang bersnokling dan diving bagi yang mahir, apakah bisa tidak menggunakan sepatu katak-nya? Ini lebih ramah lingkungan lho!
Mengikuti Protokol Kesehatan selama berwisata
Nah selain hal teknis tadi tentu saja ada protokol kesehatan yang jua kita harus taati dan lakukan selama berwisata di saat new-normal berwisata, apa saja?
Yakni selama masih berstatus pandemi di masa new-normal, kita dihimbau untuk tidak membawa anak-anak dan juga orang tua yang rentan dan memiliki penyakit penyerta yang berat deh.
Lalu, selalu waspada pada aktivitas di dalam kerumunan, seperrti berswa-photo di titik instagramable tempat wisata. Dan jangan lupa untuk tetap menggunakan Masker ya, selama di di luar ruangan!
Nah jika sanggup mentaati syarat tadi, yang merupakan training pra kehidupan normal kita untuk berwisata. Berarti kita sudah siap nih untuk bergegas kembali mengunjungi alam, pantai dan laut kita, dan bernostalgia menyemai cinta baru.
Iyalah menyemai cinta baru. Dengan mencintai alam dengan rasa kebanggaan untuk tetap menjaganya bersama , dan ikut mengurangi dampak perubahan Iklim yang sudah ada di depan mata kita, sebagai perenungan sekaligus perayaan Hari Kelautan ini.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini (beri link artikel persyaratan ini)