Melestarikan Pariwisata IKN, Dari Ancaman Karhutla

Pandemi dan ancaman Karhutla, menjadi titik balik untuk bersama disiplin menjaga kesehatan dan lingkungan, untuk mengubah mind-set kita menuju new-normal

Karhutla Kaltim

Meneropong calon Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur nanti, kita bisa saja menghayalkan surga rimba Kalimantan, tanpa ancaman Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ya? Duh membayangkan wilayah ini, pasti kaya ya dengan SDA? Dan tentu bisa menjadi magnet Pariwisata IKN yang eksotis.

Nah jika ada waktu ayo gih datang kemari berwisata! Kota Samarinda dan Kota Balikpapan siap menyambut kita lewat dua pintu besar Bandara Internasional-nya lho. Mau lewat Bandara APT Pranoto, atau Sultan Aji Muhammad Sulaiman, pilih mana?

Nanti dari atas langit, ketika berada di ketinggian pesawat, bisa lekas kita melihat hamparan alas hutan hijau, yang menjadi tempat tinggal Orang utan, Burung Rangkong, Beruang madu, dan semua flora dan fauna endemic lucu Kalimantan.

Burung Rongkang di alam Kalimantan. menjadi pariwisata IKN, yang terancam Karhutla
Ilustasi pesona Banua-Etam I IG @exotickaltim

Nah terus, ketika sesudah mendarat di banua-etam, untuk bergegas melaju ke tempat-tempat wisata asik di Kaltim yang dimaksud, via jalan darat.

Jangan kaget bila senyuman selamat datang spontan kita rasakan ketika masuk ke area Tahura Bukit Suharto, untuk merasakan sejuknya Kanopi pepohonan tinggi berbaris rapi di sisi jalannya. Amboiiy….

Jalur Tahura Suharto ini menghubungkan dua kota besar di Kaltim yakni Balikpapan ke Samarinda dan sebaliknya. Kedua kota ini bisa menjadi titik untuk memulai tujuan perjalanan wisata pantai dan laut Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau yang terkenal itu.

Wisata Bukit Bangkirai, salah satu Pariwisata IKN. Akan kan menjadi korban Karhutla setiap tahunnya?
Bukita Bangkirai Kukar I Dokpri

Atau bisa juga ketika ingin berkunjung ke Wisata hutan-alam, Bukit Bangkirai dan Penangkaran Orang Utan di Kabupaten Kukar. Yok Dipilih-dipilih saja!

Tapi beruntunglah jika kita datang kemari, tidak pas mendekati musim Kemarau, yang biasnya jatuh di pertengahan Tahun! Karena musim kemarau yang memantik kekeringan bisa membuat pandangan kita tak nyaman.

Bisa-bisa kita hanya merasakan kabut asap selama di perjalanan menuju dan dari kedua kota tadi, ya ketika melewati Tahura Bukit Suharto ini.

Jalaran api bisa terlihat membakar semak-semak tepi jalanan dengan mudah, itu pertanda awal bencana Karhutla, yang -mungkin- jua melanda kawasan hutan lainnya di sekitarnya.

Dan muaranya, ya pastilah mengancam kelestarian Pariwisata IKN dengan menu lezat alam-nya itu. Kok bisa?

Dampak Karhutla di musim kemarau
Di tepi jalur Tahura Suharto yang nampak kering. Foto diambil Juli Tahun 2019 I Dokumen Pribadi

Gambaran ini bisa menjadi cerita bencana Karhutla di awal September 2019 lalu, yang terjadi di Kalimantan Timur.

Laporan BPPD pada saat itu, mengatakan Kukar dan PPU -lokasi IKN- sudah menjadi titik bencana kebakaran dan asap. Karhutla pada saat itu sudah membakar seluas 6.715 Ha, termasuk di Kawasan Bukit Suharto yang sedang kita bicarakan ini.

Klasik sih, musabab Tahura Suharto ini rentan terbakar? Salah satunya ya adanya pembukaan lahan berladang, berkebun dan illegal logging, serta dugaan aktivitas illegal-mining.

Malah -dugaan- melimpahnya kandungan batubara di Tahura Bukit Suharto juga dianggap menjadi muasal titik-titik api yang terjadi secara alami.

Areal perkebunan Sawit yang marak di Kaltim, diduga menjadi penyebab Karhutla
Sepanjang perjalanan kita jua akan menemukan banyak sekali arela sawit yang menjadi alas rimba Kaltim I Dokumentasi Pribadi

Nah, Karhutla memang sudah menjadi bencana tahunan yang terus saja menjadi-jadi. Lalu apa sih kira-kira yang bisa kita lakukan, dalam usaha melestarikan Pariwisata sembari beriwisata alam lagi, di tengah ancaman Karhutla ?

Karena dampak asap yang akan dihasilkannya pasti akan berpengaruh sekali dalam hal ekonomi dan -terutama- Kesehatan masyarakat. Terlebih di masa Pandemi inikan?

Karhutla, ancaman Pariwisata di tengah Pandemi?

Ah coba kita bisa melihat sendiri deh dunia Pariwisata sudah mati suri gegara Pandemi saat ini. Pariwisata kita sudah melangkah mundur 10 tahun kebelakang. Ya parameternya bisa kita lihat atas kunjungan wisatawan yang datang ke Indonesia selama Pandemi.

Di Februari 2020, wisatawan yang tercatat di Kementrian Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif secara nasional ada 800 ribu wisatawan. Di Maret 2020 jumlahnya turun dan bahkan sama jumlahnya dengan Maret di tahun 2010 lalu, hanya  470 ribu wisatawan. Sekarang bisa jadi null?

Tidak itu saja, PHRI mencatat ada 1642 Hotel dan juga 353 Restoran yang tidak beroperasi selama pandemi ini. Itu di luar industri Pariwisata lainnya yang pasti jua terdampak! Bisa kita hitung ongkos yang harus dibayar, gegara Pandemi selama ini ya?

LPEM-FEB Universitas Indonesia pernah memprediksi jika puncak Pandemi ini akan berlangsung dalam dua prediksi. Pertama, puncak Pandemi akan terjadi akhir Juni 2020, dengan taksiran jumlah 60 ribu kasus.

Dan prediksi keduanya, puncak Pandemi terjadi pada akhir Agustus sampai September 2020, dengan jumlah kasus Covid-19 mencapai lebih kurang 100 ribu kasus.

Terlepas dari dua prediksi itu benar atau tidak, tersadarkah kita jika musim kemarau juga bertepatan dengan waktu dalam prediksi tadi?

Meski BMKG, memprediksi musim kemarau berkepanjangan tak akan terjadi pada 2020 ini. Berbeda dengan tahun 2019, musim kemarau, terasa dua bulam lebih lama dari waktu normal.

Bekantan salah satu ikon fauna Kalimantan, Pariwisata IKN, yang jua terancam Karhutla
IG @exotickaltim

Namun masalah ancaman Karhutla tahun ini bukan perkara kecil sih! Pandemi tentu bisa menjadi percikan api yang akan berkobar besar. Dan akhirnya memperlama waktu Pandemi ini, terlebih jika keduanya hadir pada waktu yang bersamaan. Mengapa?

Karena penyakit pernafasan akut akibat Asap Karhuta seperti penyakit ISPA akan berdampak buruk bagi ODP atau PDP Covid-19 yang belum terdeteksi.

Serta bisa saja memperparah komplikasi penyakit pasien Covid-19 yang sudah atau belum terdeteksi dan menjadikan racun yang lebih mematikan?

Terlebih bakal menjadi racun yang jua mematikan aktifitas ekonomi, terutama aktivitas Pariwisata?

Ah, artinya terasa sekali jika dunia Pariwisata memang sangat ditentukan dengan dua hal kan? Pertama, objek wisata dan kedua subjek wisata.

Jika Pandemi sudah menghantam subjek wisata-nya yakni para wisatawan-nya yang takut berwisata karena alasan keselamatan jiwa.

Dan kedua, jika bencana Karhutla sudah mengancam objek wisata, yakni kerusakan destinasi eko-wisatanya akibat Karhutla.

Bagaimana pilihan kita selanjutnya, bertahan atau tetap melestarikan wajah Pariwisata ini ya?

Melestarikan Pariwisata dari ancaman Karhutla dan Pandemi?

New normal adalah pintu gerbang untuk beraktifitas Kembali ya seperti biasanya. Namun menekankan hidup pada pola hidup sehat dan disipilin seperti menjaga jarak, agar penularannya tidak massif, sampai ditemukannya obat dan vaksin Covid-19.

Dan pastinya ancaman bencana Karhutla bisa menjadi ganjalan dalam menyambut ancang-ancang kehidapan new-normal itu.

Dan malah berpotensi menjadi gelombang bencana baru nan besar dalam mencipta penyakit pernafasan akut seperti ISPA.  

Nah sampai disini bisa saja bahasannya agak seriusan ya? Karena tentu menyentuh soal kebijakan aturan yang sangat rigid soal bagaimana dan mengapa!

Namun, setelah mendengarkan bincang ruang-public KBR Prime dengan tema “Kemarau dan ancaman Karhutla di tengah Pandemi”. Saya kok merasa menemukan dimensi baru dan mengerti kompleksivitas permasalahan Karhutla ini secara umum.

Kekeringan di Jalur Tahura Suharto, dampak Karhutla
Kekeringan di Jalur Tahura Suharto I Dokpri

Nah setelah mengunyah diskusi perlahan, ada 3 tiga hal yang menggantung di kepala saya, dan saya ingin sekali tumpahkan pada tulisan ini, untuk melanjutkannya sendiri soal ancaman Karhutla.

Terutama soal mengapa dan bagaimana ancaman Karhutla itu penting untuk kita tindaklanjutin sih!.

1. Pencegahan, adalah solusi ancaman Karhutla?

Satelit Teraa/Aqua milik KLHK sudah menemukan 700 titik api yang menyebar di Sumatra, terutama Riau, Sumut dan Jambi, pada awal Kemarau tahun ini. Sebaran titik api itu mengalami tren penurunan dari tahun sebelumnya sih.

Dan seperti biasa KLHK bertekad, untuk benar-benar memasifkan Langkah pencegahan terlebih dahulu, dan juga upaya pemadaman serta jua melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar pembakaran hutan.

Ah ini memang terlihat teoritis sih saya pikir, dan tentunya akan sulit sekali diterapkan di lapangan.

Pencegahan lebih baik dari pada pemadaman

Anis Aliati, Kasubdin Karhutla, KLHK

Mencerna solusi ini, kita bisa berkaca pada kasus Karhutla Kaltim 2019 saja misalnya.

Utamanaya pada masalah penafsiran UU 32/2009 pasal 69 ayat 2 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang memperbolehkan membuka lahan untuk kegiatan berladang bagi masyarakat local maksimal 2 Ha?

Dengan UU itu, sudah merepotkan pihak penegak hukum dalam menciduk pelaku yang adalah warga setemapt/adat.

Meski aparat sudah menangkap dan menjerat mereka dengan pasal  50 ayat 3 UU 41/1999 dan Jo Pasal 78 ayat 3 huruf D tentang membakar hutan, serta pasal 187 KUHP yang menyebabkan  kebakaran hutan sekalipun.

Toh dengan UU 32/2009 di atas yang lebih tinggi derajatnya, akan bisa ditafsirkan sebagai pembenaran pada kegiatan pembakaran lahan masyarakat local tadi kan?

Menurut saya, aktifitas kearifan lokal membakar hutan yang terus terjadi ini bisa lebih ditekan dengan mensosialisasikannya dengan intens.

Agar masyarakat lokal bisa “terpaksa” menunda dahulu kegiatan pembakaran lahan mereka untuk berladang selama terdapat ancaman Karhutla di musim kemarau, apapun caranya!

Nah artinya ya sosialisasai akan menjadi koentji terutama soal materi edukasi kepada masyarakat tentang Karhutla dan hal mitigasi.

Pada skala global, tentu media-sosial bisa lebih dimasifkan oleh pihak terkait terutama KLHK, BNPB daerah, untuk bisa menebar ragam sosialisasi.

Dan terpenting bisa membuka kanal maya untuk sarana pelaporan masyarakat soal adanya pihak yang melanggar yang memicu terjadinya Karhutla secara massif di musim kemarau nanti kan?

Ya termasuk dalam konteks kegiatan berwisata juga harus digalakkan juga sih. Dari hal yang remeh-temeh, dimana misalnya para wisatawan juga harus diberi edukasi dan jua punishment agar bisa selalu bertindak postif selama berwisata alam.

Seperti tidak boleh membuang sampah sembarang, terlebih puntung rokok, di jalan yang tersebar semak-semak kering ketika musim kemarau. Hal-hal kecil ini, tidak ada salahnya bisa kita mulai dari sekarang kan? Tanpa diperintah?

2. Memaksimalkan Hak Otonomi daerah, dengan total!

Banyak data statisitk yang telah diproduksi dari bencana Karhutla dari tahun ke tahun. Terutama data kerugian biaya materi dan kerugian rusaknya asset lingkungan Pariwisata yang besar.

Seperti di tahun 2015 lalu saja dimana dana penaggulangan Karhutla meghabiskan hingga Rp 200 Trilun.

“Dari 90 gas, hampir ada 50 gas yang beracun yang diciptakan oleh asap, Furan dan Hidrogenesia diantaranya

Bambang Hero Suharjo, Guru Besar IPB

Nah menurut saya, di masa bertepatan dengan Pandemi ini, bisa menjadi momentum untuk membuktikan kesaktian hak otonomi daerah yang selalu saja kita banggakan!

Hak otonomi yang selama ini selalu dikaitkan dengan hal mengelola keuangan daerah yang dominan dalam porsi besar. Namun juga harus bisa membuktikan untuk mengelola kebencanaan untuk masyarakat daerahnya sendiri.

Kepala Daerah harus menjadi garda terdepan untuk mengetahui permasalahan yang ada di lapangan.

Selanjutnya mengambil langkah awal untuk bertindak, bukan mengekor dan menyerahkan kepada pusat saja. Terlebih menggantungkan soal anggaran pengelolaan bencananya kan?

Jika perlu daerah memperkuatnya dengan menerbitkan Perda, yang mengatur tentang sanksi bagi pembakar lahan secara sengaja. Dan itu sudah dilakukan banyak daerah, seperti Kaltim dengan Perda Kaltim No 5/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Karena jika dibiarkan Karhutla oleh daerah, tentu akan berpotensi menggandakan kerugian material dan lingkungan cukup banyak.

Dan membuat pengelolaan keuangan daerah akhirnya menjadi tersendat dalam pembiyaan pembangunan selanjutunya, yang banyak terserap hanya untuk bencana saja.

3. Aktif mempraktekan Mitigasi Bencana!

Skill Mitigasi bencana menjadi hal yang penting dimiliki oleh kita semua deh! Nah saya jadi teringat dengan teori Kroeber dan Kluckhohn (1952), dia mendefinisiakn jika manusia dibagi 3 kelompok berdasarkan cara pandangnya.

Pertama, yakni kelompok tradisonal yang ditandai dengan sikap tunduk dan pasrah terhadap alam. Kedua, yakni kelompok transformasi yakni kelompok yang berusaha mencari keselarasan dengan alam. Ketiga, yakni kemlopok yang berhasrat mengusai alam.

Atas dasar tipologi, lalu Koentjoroningrat (1987) memasukkan orang Indonesia ke dalam kelompok tradisional dan transformasi. Yang bisa berarti masyarakat kita tidak memprioritaskan hal yang menyangkut mitigasi bencana. –Mitigasi yakni upaya menyiapkan diri menghadapi resiko bencana–

Nan Pandemi dan ancaman Karhutla adalah Langkah awal mengubah old-normal menjadi new-normal dengan mengedepankan kedisiplinan tanggap berprilaku sesuai protocol Kesehatan.

Dimana kita sudah belajar untuk melakukan dan pertahankan selama di rumah saja, di masa Pandemi ini kan?

Tetap menggunakan Masker

Feni Fitriyani, dokter ahli Paru

Nah oleh sebab itu, dalam konteks kesehatan dan keselamatan, kita atau masyarakat yang berada dekat dengan lokasi Karhutla, diminta untuk segera menjauh saja!

Jika merasakan tanda adanya bencana Karhutla, agar tidak terpapar penyakit ISPA yang ditularkan dari asap Karhutla. Terlebih bagi yang sudah terinfeksi wabah Covid-19. Dan juga selalu memantau informasi indeks udara yang dikeluarkan Pemerintah setempat.

Hal yang paling mudah dilakukan dan terpenting untuk disiplin menggunakan Masker sebagai salah satu protocol new-normal? Fungsinya menjadi ganda kan, menghalau asap dari gas beracun dan juga penularan virus dari droplet orang lain.

Dengan Kesehatan yang selalu terjaga selama Pandemi, terlebih menerima dampak asap Karhutla tentu akan menjamin kita bisa kemana-mana terus. Termasuk berwisata ke tempt yang kita ingin tuju!

Masih ingin berwisata di Kaltim, di tengah ancaman Karhutla?

Berwisata alam memang mengasikan, melihat dan merasakan suara gesekan pepohonan yang diayun oleh angin.Mendengar ocehan burung-burung endemic yang merdu.

Hal tadi bakal menjadi nyata dan bisa segera kita nikmati ketika aktivitas wisata nanti dibuka kembali dalam momen new-normal ya?

Dimana momen new-normal dalam waktu dekat nanti, bisa menjadi harapan nafas baru untuk pelestarian pariwisata, utamanya Pariwisata IKN ini kan?

Dan beruntunglah, jika ancaman Karhutla di wilayah Provinsi Kalimantan Timur masih dikatakan kecil, ketimbang wilayah tetangga.

Dan jikapun Kaltim terdampak kepulan asap berat, itu adalah asap kiriman dari daerah tetangga di sekitarnya yang mengalami Karhutla hebat

Nah dari masa Pandemi dan ancaman Karhutla ini, menjadi titik balik kita untuk bersama disiplin menjaga Kesehatan dan juga menjaga lingkungan kita dalam mengubah mind-set kita menuju new-normal tadi kan?

Bisakah Melestarikan Pariwisata IKN, Dari Ancaman Karhutla?
Ilustrasi I IG @exotickaltim

Dimana dengan perilaku baru kita menjaga Kesehatan, tentu saja akan memanjakan dua hal penting Pariwisata.

Pertama subyek wisata, yakni kita yang selalu saja ingin berwisata. Dan yang kedua adalah objek wisata, yakni destinasi wisata alam yang asri dari ancaman Karhutla. Dan keduanya bisa bergerak bersama-sama memajukan pariwisata Nusantara.

Dan muaranya ya tentu saja akan bisa menjadi pengerak ekonomi yang menghidupi orang banyak untuk saling berbagi kebahagian, lewat aktivitas berwisata kan ?

Yuk safe-life, safe-flight ya!

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini 

Alfian Arbi

Writer East-Borneo.my.id

Kamu juga harus baca artikel ini!

Comments are closed.

error: Content is protected !!