Nikmatnya Susur Mahakam, Menjelajah Cagar Budaya Etam

Yuk jadikan situs cagar budaya Nusantara menjadi destinasi wisata prioritas, menjadikannya konten edukasi pada banyak platform media saat ini

Pulau Kumala Tenggarong

Lantas bagaimana langkah konkretnya untuk melestarikan cagar budaya? Ya terus memahami sejarah kebudayaaan kita lebih intens, dan mensesapinya ke dalam segala tingkah laku harian kita, setelah puas berwisata jelajah cagar budaya


Riak air sungai Mahakam tenang, menyambut 200-an peserta misi Jelajah Cagar Budaya Kaltim 2022, Kamis pagi (19/5). Sekitar pukul 07.00 WITA, rombongan dua  kapal wisata, kapal Pesut Etam dan Bentong, bergegas meninggalkan kota Samarinda ke arah Hulu Mahakam menjelajahi situs Cagar Budaya Tenggarong, Kalimantan Timur.

Kunjungan jelajah cagar budaya kaltim 2022 di dermaga Samarinda
Kunjungan jelajah cagar budaya kaltim 2022 di Dermaga Samarinda

Jujur, kala hanyut serta bersama Kapal wisata di badan sungai Mahakam. Sontak menumbuhkan rasa takjub mengena keesaan Tuhan YME, yang telah memberikan anugrah atas kenikmatan aliran sungai Mahakam yang kekal sedari dahulu.

Tidak bisa dibayangkan, aliran air sungai Mahakam yang berasal dari riam-riam kecil nan juah di hulu Belantara Kalimantan, tak pernah lelah melayani aktvitas-aktivitas peradaban manusia hingga kini ya?

Dan meskipun, peradaban manusia masa lampau punah. Namun tak lantas jua menggerus fungsi Mahakam sebagai sumber kehidupan peradabaan modern manusia kini.

Dan hal itu terlukis jelas dalam tinggalan-tinggalan cagar budaya di sepanjang sungai Mahakam, seperti bangunan bersejarah, Makam-makam raja dan bangunan-bangunan kejayaan industri SDA Kaltim dahulu.

Duh, Rendezvos itu rasanya memudahkan aku dan para peserta lainnya memotret banyak hal mengenai sungai Mahakam sebagai saksi hidup perjalanan peradaban sejarah manusia di bumi Etam, Kalimantan Timur ini.

Berandai sejenak boleh? Jika Mahakam bisa berbicara, pastilah akan seru ya? Mendengarkan keluh kesahnya melayani kebutuhan manusia yang tidak ada habisnya itu?

Dan terpenting, Mahakam akan memberikan jawaban utuh, mengenaI misteri candu air mahakam, yang konon katanya akan mudah memanggil kita kembali, ke bumi Etam, kala kita pernah merasakan air Mahakam.

Nah, baru sekitar 20 menitan berlayar, Mahakam mulai mempertunjukkan atraksinya di etalase bibir sungai, dengan menyajikan parade sumber daya alamnya.

Mengikuti arus deras sungai Mahakam ke arah hilir sungai,  kapal Tongkang antre menghantarkan ekstraksi batu baru, demi energi dunia.

Batubara yang menuju hulu sungai Mahakam
Batubara yang menuju hulu sungai Mahakam I Dokpri
Industri perkayuan yang masih berjaya di Kaltim I Dokpri
Industri perkayuan yang masih berjaya di Kaltim I Dokpri

Sisa sisa kejayaan industri perkayuan di jaman orde baru, juga masih menyajikan gelondongan kayu-kayu besar nan panjang,  yang berenang lamban ke muara sungai, untuk segera diolah jua.

Bibir sungai Mahakam juga terlihat kian seksi, dari arah hilir sungai menuju hulunya sudah rapi terpancang bangunan kokoh, besar dan megah, iya bangunan Hotel dan Mall.

Bangunan-bangunan modern itu berebut spot-spot menarik, untuk bisa berasa dekat menatap wajah sungai nan rupawan ini, kala senja tiba.

Namun, semakin ke arah hulu, ke arah Tenggarong, masih pula kita rasakan sebuah gambaran aktivitas masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya kepada Mahakam.

Mereka masih mau ber-budidaya keramba ikan air tawar, memancing/menjala ikan di sungai, dan masih kukuh bertempat tiggal dengan material kayu, di bibir-bibir sungai Mahakam.

Rumah kayu di bibir Sungai Mahakam
Rumah kayu di bibir Sungai Mahakam I Dokpri

Sekelebat, semua hal itu tentu akan mudah membuktikan kepada kita, jika memang terdapat sebuah kebudayaan lawas masyarakat Kutai, yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu, jauh sebelum mereka menetap di tepi sungai.

Namun, memaknai agenda pembangunan terkini, bisalah kita anggap menjadi sebuah ancaman, serta tantangan menata Mahakam sebagai sebuah sistem alam, yang sudah terbukti berhasil mengharmonisasi peradaban manusia dahulu hingga kini, bukan?

Termasuk, hal terpenting yang harus diperhatikan, bagaimana cara Pembangunan itu juga mampu menata situs cagar budaya yang lama terkubur di sana.

Menjadikan cerita abadi kepada generasi muda, menanamkan doktrin dan kesadaran kepada mereka, untuk mau mengunjungi, melindungi dan melestarikan cagar-cagar budaya itu.

Dan akhirnya kesadaran itu akan berhasil pula membuka pelan tabir rahasia, mengenai candu air Mahakam, yang kerap membuat kita rindu untuk menyusur Mahakam kembali, bukan?

Terutama tabir rahasia yang akan menguak rahasia kisah peradaban Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura di Tenggarong, yang mengandalkan sungai Mahakam sebagai teritorialnya, memampukan mereka berjaya di jamannya.

Dan akhirnya Peradaban lampau melahirkan kebudayaan Kutai yang masih kompetible jua dijalankan oleh warga lokal hingga hari ini.

Warga lokal masih mengandalkan Mahakam sebagai keramba ikan
Warga lokal masih mengandalkan Mahakam usaha Keramba ikan

Ah, semua tadi akan kita rasakan sesampainya di sini, berada di situs cagar budaya Tenggarong untuk menjelejahi situs Museum Mulawarman, Makam Raja-raja Kutai, serta mengamati Bangunan penting bersejarah lainnya.

Seraya mensesapi makna pekikan  kunjungi, lindungi serta lestarikan peserta cagar budaya 2022, sebagai oleh-oleh misi penjelajahan kali ini.

Yuk Kunjungi Cagar Budaya Etam!

Akhirnya, Mahakam menghantarkan penjelajah cagar budaya Kaltim 2022, ke Situs cagar budaya di Tenggarong, setelah kurang lebih 1 jam-an berlayar dari Samarinda.

Lihatlah, dari Dermaga, bangunan Museum Mulawarman, yang dahulu merupakan bangunan istana Kerajaan Kutai Kertanegara.

Dan ternyata, menginjakkan kaki di Museum Mulawarman Tenggarong, akan menjadi sebuah paket lengkap  berwisata yang menarik pula.

Karena situs cagar budaya Tenggarong akan menghadirkan banyak tinggalan cagar budaya di sekeliling Museum Mulawarman, yang mudah dikunjungi dengan hanya berjalan kaki.  Mari mulai menjelajahnya!

Jelajah Cagar Budaya Museum Mulawarman

Nah, Museum Mulawarman dahulu merupakan kompleks Istana Kutai Kerajaan Kutai Kertanegara, yang luasnya sekira 35 ribu meter persegi.

Bangunannya sudah menggunakan material beton lho, yang didirikan pada tahun 1932. Arsitekturnya dari Belanda, bernama Louis Joseph Marie.

Di sini terdapat barang-barang Kerajaan Kutai Kertanegara yang bernilai sejarah tinggi. Disana terdapat hampir 5000-an koleksi benda bersejarah yang kepada para pengunjung.

Memasukinya, kita sepertinya diajak untuk hidup pada masa-masa peradaban lampau, dengan menampilkan diaroma benda bersejarah, seperti hadirnya kursi-kursi singgasana Raja, mahkota Raja hingga senjata-senjata yang dikenakan para Raja-Raja Kutai.

Ketopong
Ketopong I Dokpri



Singgasana raja kutai
Singgasana Raja Kutai Kertanegara I Dokpri

Lantas, kita rasanya akan tersihir menjadi khatam, untuk mempelajari sejarah singkat lahirnya Kesultaan Kutai Kertenagera Ing Martapura yang berdiri sejak abad 13 ini, kala puas menjelajahi semua ruangan Museumnya.

Aku juga baru mengetahui jika dahulu kerajaan Kutai Kertanegara berada di daerah kutai Lama, di daerah Anggana Kukar, dengan Raja pertama Aji Batara Agung Dewa sakti (1300-1325), sebelum akhirnya berpindah tempat di Tenggarong ini.

Singkatnya, abad ke-16 Raja Kerajaan Kutai Kertanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mandapa berhasil menginvasi Kerajaan Hindu Kutai Martapura yang berdiri sejak abad ke-3.

Nah, dengan kemenangan itu, bergantilah nama Kerajaan Kutai kertanegara menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martapura.

Hal ini tentu memberikan penegasan kembali jika Kerajaan Martapura dan Kerajaan Kutai Kertanegara tidak sama, meski masih berada di Kaltim.

Peradaban Islam mulai diperkenalkan ke Kerajaan Kutai Kertanegara oleh Tuan Tunggan Paranagan pada abad ke-17. Sejak saat itulah sebutan Raja berubah menjadi Sultan.

Nah, Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739) merupakan raja pertama yang bergelar Sultan, sekaligus merubah sebutan Kerajaan menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura, pada saat itu.

Mahkota Raja Kutai Kertanegera I Dokpri

Sejarah peradaban Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martapura juga meninggalkan sebuah warisan akulutarasi kebudayaan Kutai,  yang kental dengan syariat Islam, dan masih dilakukan warga lokal, hingga kini.

Jelajah Cagar Budaya Makam Raja Kutai

Makam Raja Kutai Kertanegara I Dokpri
Makam Raja Kutai Kertanegara I Dokpri

Lantas, tepat di belakang Museum Mulawarman, terdapat makam-makam raja Kutai Kertanegara. Komplek pemakaman ini terdapat Makam Aji Imbut, Sultan Aji Muhammad Muslihuddin yang wafat pada 1838 Masehi.

Para Sultan lainnya juga dimakamkan di kompleks pemakaman ini, Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845 M), Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899 M), serta terdapat pula Makam Aji Muhammad Parikesit (1920-1960 M).

Biasanya para pengunjung datang kemari bisa sekaligus berziarah dengan melakukan ritual pembacaan doa, serta tabur bunga di sekitar areal pemakaman Raja-raja Kutai Kertanegara itu.

Jelajah Cagar Budaya Masjid Jami Adji Amir Hassanoeddin

Sebuah Masjid tua, tepat jua berada di belakang Museum Mulawarman, merupakan bukti peradaban Islam sudah hadir di abad 17.

Dimana cikal bakal Masjid itu dibangun oleh Sultan Sulaiman, Sultan ke-17 dari 19 Raja yang memerintah Kesultanan Kutai Kertanegara pada masa 1850-1899.

Masjid yang materialnya terbuat dari kayu ulin nan kokoh ini, sebenarnya dahulu hanyalah Mushalla kecil, yang kemudian di tahun 1930 direnovasi menjadi Masjid yang cukup besar, di masa kesultanan Adji Muhhammad Parikesit.

Lantas nama Masjid Adji Amir Hassanoedin, ternyata merupakan nama seorang Mentri pemerintahan Sultan Adji Muhammad Parikesit.

Dimana sang Menteri, yang juga diberi gelar Haji Adjie Pangeran Sosronegoro dianggap berjasa atas inisiasi pembangunan Masjid bersejarah 16 tiang itu.

Nah, dengan hadirnya Masjid yang jua ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya itu, akan memberikan fasilitas yang tak ternilai, kala mengunjungi situs cagar budaya museum Mulawarman ini kan?

Selain kita bisa melakukan ibadah sholat, kita juga mampu mensesapi hadirnya peradaban islam yang lahir di Kutai, dengan entitas bangunan bersejarahnya.

Jelajah Cagar Budaya Jam Nii Rum

Keluar dari Masjid Adji Amir Hassanoeddin, kita akan berpapasan dengan bangunan bersejarah lainnya, berupa tugu yang berbentuk jam besar bernama jam Nii Room (Nii Ruum).

Tugu berupa jam yang terdapat di sisi jalan belekang Museum Mulawarman mengingatkan pada momen pertunangan Ratu  Juliana dan Pangeran Bernard pada 8 September 1936.

Siapa sang Ratu Juliana? Juliana Loise Emma Marie Wilhelmina merupakan pemimpin Belanda yang berkuasa pada 1948-1980. Dan momen terpentng di masa Pemerintahannya, dia juga berjasa mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia di tahun 1949.

Jam Nii Ruum Tenggarong

Juliana meninggal  pada 20 Maret 2004. Oleh sebab itu, namanya akan menjadi sejarah yang tak terlupakan oleh Bangsa Indonesia lewat tugu Jam Nii Ruum, yang kita bisa jumpai di situs cagar budaya Tenggarong ini, dengan mudahnya.

Jelajah Cagar Budaya Rumah besar Sangko

Masih dekat dengan letak tugu Jam Nii Ruum, terdapat sebuah bangunan bersejarah yang bernama rumah sangko yang wajib dikunjungi!

Rumah yang terdapat di jalan Ahmad Yani Tenggaromg ini, sudah lama menjadi pusat kegiatan budaya Yayasan Sangkoh piatu, atau sanggar seni budaya kesultanan Kutai.

Rumah ini terbuat dari kayu ulin, yang luasnya sekira 150 meter persegi. Dahulu rumah ini merupakan rumah seorang Menteri kesultanan Adji Muhammad Parikesit beserta keluarga besarnya.

Lantas seiring waktu, di masa kesultanan Parikesit, Hingga kini rumah besar ini digunakan untuk pertunjukkan adat-adat kebudayaan Kutai.

Yuk Lindungi Cagar Budaya Etam!

Mensesapi semua cagar budaya tadi, mengingatkanku pada diskusi seru di atas kapal wisata menuju Tenggarong.

Fajar Alam, seorang ahli cagar Budaya banyak bercerita mengenai peradaban manusia di Kaltim dahulu yang mengandalkan Mahakam sebagai sumber kehidupan mereka.

Sambil bercerita, dia mengajak para peserta untuk melihat sekeliling sungai, melihat sisa-sisa peninggalan kebudayaan masyarakat lokal, yang sudah tergerus agenda pembangunan.

Dan yang tak terelakkan adalah, kerusakan ekologis Mahakam yang mudah menghilangkan jejak sejarah Mahakam dan berpotensi menjadi cagar budaya.

Dokumentasi BPCB Kaltim

Semua hal itu bisa kita rasakan secara faktual di atas kapal, dan lekas menimbulkan tanya dan kekhawatiaran, mengenai ancaman yang ditumbulkan oleh agenda pembangunan terhadap perlindungan cagar budaya, yang terdapat di benua etam.

Dimana item pelindungan menjadi salah satu dari 4 komponen upaya pemajuan kebudayaan, selain item pemanfaatan, pengembangan dan pembinaan.

Nah, jika ditelisik makna Pelindungan memiliki defiinisi upaya menjaga keberlanjutan kebudayaan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan dan publikasi. Lima hal itu, seperti rantai yang tak bisa dilepaskan bukan?

Oleh sebab itu, ternyata banyak kreteria bagi Pemerintah, untuk memprioritaskan, serta menetapkan benda dan kebudayaan menggenggam predikat cagar budaya tadi.

Dan hal itu sudah dipertegas dengan hadirnya UU 11 2010 tentang cagar budaya, dan UU nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.

Menyimak pejelasan, Bpk Fajar Alam tentu kita akan mudah paham, jika kebijakan pembangunan apa saja tentu akan otomatis menyelaraskan Undang-undang tadi, untuk dijalankan. Utamanya, agar upaya pelindungan cagar budaya tetap konsiten terjaga.

Lantas bagaimana peran kita? Tentu saja terus mengawal upaya itu, dengan terus mempublikasikan dan mempromosikan semua hal mengenai kebudayaan/sejarah di sekitar kita yang berpotensi masuk ke dalam kriteria predikat cagar budaya itu.

Gamelan yang menjadi koleksi Museum Mulawarman
Dokumentasi BPCB Kaltim

Dengan cara apa? Salah satunya menjadikan situs cagar budaya Nusantara dimana saja berada menjadi sebuah destinasi wisata prioritas kita, untuk menjadikannya konten edukasi pada banyak platform media saat ini. Sanggup kah?

Yuk Lestarikan Cagar Budaya Etam!

Oh ya, jujur Tari Topeng yang dipertunjukkan di Rumah Sangko, kala kami mengunjunginya menjadikan pelajaran teramat penting, bagaimana pentingnya melestarikan cagar budaya yang kita miliki saat ini.

Meski kita berasal dari entitas di luar entitas Kutai, diriku mudah menganggap tarian Topeng kebudayaan Kutai familiar dengan kebudyaan yang jua dipertunjukkan banyak entitas di pulau Jawa.

Tari Topeng, seni tari adat Kutai I Dokpri
Tari Topeng, seni tari adat Kutai I Dokpri

Alunan musiknya yang dihantarkan dengan alat musik gamelan, layaknya menghantarkan diriku pulang ke pulau Jawa saja. Karena kebudayaan Jawa, menghantarkan seni tari dan musik yang juga menggunakan perangkat Gamelan.

Lantas, fakta lainnya yang kutemukan adalah terdapatnya gamelan yang tersimpan jua di Museum Mulawarman. Jadi bertanya, alat musik Gamelan ini, sebenarnya berasal dari kebudayaan mana ya?

Pertanyaan itu pasti akan menyulut pertanyaan yang lebih mendalam lagi mengenai sejarah panjang kebudayaan Nusantara. Terlebih menggali asal muasal alat musik Gamelan yang jua terpampang sebagai koleksi cagar budaya di Museum Mulawarman Tenggarong.

Mencari tahu jawabnya ternyata, alat musik Gamelan itu merupakan hadiah dari keraton Jogyakarta di tahun 1855. Alat musik Gamelan itu diberikan sebagai simbol perdamaian, antara entitas jawa dan Kutai  untuk mampu berkolaborasi menjalankan hormanisme kehidupan.

Lantas, menyaksikan lebih jauh simulasi upacara adat Kutai, Naik Ayun bagi Bayi, yang jua dipertunjukkan di rumah Sangko seakan mempertegas tentang hal itu.

Dimana akulturasi kebudayaan Nusantara sudah lama melekat dan menjadi harmonisasi kehidupan kita saat ini bukan? Dalam prosesnya banyak terdapat kesamaan dengan kebudayaan entitas lain di Nusantara.

Ritual adat Kutai, Naik Ayun Bayi I Dokpri
Ritual adat Kutai, Naik Ayun Bayi I Dokpri

Nah, mengingat hal itu, tentu menjadikan sebuah inspirasi, akan tekad kita mempererat kesatuan dan persatuan Nusantara lewat budaya. Terlebih generasi muda masa depat yang bertekad mau melestarikan kebudayaan, atas entitas apa saja yang mereka sandang.

Dan dengan segenap upaya itu lantas  akan memudahkan untuk menepis keraguan kita kepada Generasi mendatang, untuk bisa menahan gempuran kebudayaan asing yang sangat berpotensi hadir, bukan?

Lantas langkah konkretnya untuk melestakan cagar budaya? Ya terus memahami, menanamkan sejarah kebudyaan lebih intens, dan mampu mensesapinya ke dalam segala tingkah laku harian kita, terlebih setelah kita puas berwisata, jelajah cagar budaya Nusantara.

Nah, yuk kunjungi, lindungi, lestarikan cagar budaya kita ya!

Photo : Dokumen Pribadi/Alfian Arbi

Kamu juga harus baca artikel ini!

error: Content is protected !!