Sering kita mendapati jawaban di atas langsung dari perokok aktif. Setelah kita melemparkan argumen soal Pandemi, Cukai Rokok, dan Resesi ekonomi serta menyarankan putus dengan rokok. Dan jawaban ini bakal membuat kita menjadi terhenyak dan langsung mati gaya kan?
Dan bisa-bisa kita lekas mengambil kesimpulan, jika candu dan cinta ya bagaikan anak kembar-siam, yang tingkahnya sama-sama selalu bawa perasaan –Baper—
Ah analoginya bisa saja jadi pas, jika saja kita bisa rasakan, ketika kita sedang jatuh cinta atau putus cinta deh.
Mengambil posisi itu, pasti kira-kira hal itu jua dirasakan oleh komunitas perokok yang ada di sekitar kita, akan berasa berat jika diminta putusin aktivitas merokok itu segera. Jadi ya harap maklum saja, jika soal rokok bagi perokok aktif sudah menjadi suatu keyakinan baru bahkan.
Nah, lalu menurut saya, Pandemi yang berlangsung saat ini, seharusnya bisa saja menjadi momen spesial buat Pemerintah menurunkan tingkat pravelensi perokok tadi. Terlebih, juga untuk para perokok bisa menjadi sadar berhenti merokoknya titik.
Caranya, yakni dengan terus meyebarkan edukasi, untuk selalu mengingat satu hal penting, jika merokok akan menurunkan fungsi paru-paru secara normal.
Dan hal tadi akan memiliki kaitan dengan risiko kematian tinggi, jika terpapar penyakit karena merokok, seperti penyakit chronic obstructive pulmonary disease (COPD) paenyakit jantung dan kanker paru-paru.
Apalagi pada saat yang bersamaan, para perokok -yang tersadar atau tidak- setelah di-swab ternyata adalah seorang positif Covid-19. Ini akan menjadi masalah complicated kan bagi mereka? Dan meningkatkan resiko kematiannya pula. Apakah sampai di sini, kita sudah merasa ngeri dan segera menjauhi rokok?
Adakah Kabar bagus di tengah Pandemi?
Nah sebagai pendahuluan, saya jua ingin sekali membawakan dua berita positif soal bagaimana ternyata kita bisa kok menurunkan pravelensi perokok, yang selalu melonjak di masa-masa normal. Terlebih bisa jadi di masa kini, bahkan.
Pertama hasil penelitian terbaru dari Action and Health (ASH) dan Universitas College London (UCL). Dimana katanya, dalam empat bulan terakhir, – sejak Maret 2020- kurang lebih 1 juta warga Inggris diprediksi sudah berhenti merokok sih.
Keputusan mereka untuk berhenti merokok, disinyalir karena -sudah- tersadar jika Covid-19 dan aktivitas merokok dapat memperparah resiko kematian, akibat ya menurunnya fungsi paru-paru tadi.
Terlebih jika terinfeksi Covid-19. Artinya ya para perokok –disana- sudah merasa takut dan ngeri jua soal ancaman merokok di tengah pandemic tadi.
Kabar kedua, yakni penelitian Bloomberg School of Public Health masih soal fungsi paru-paru. Dimana dalam penelitian itu mengikutkan 650 orang responden selama periode 10 tahun sejak 2002.
Mereka menemukan jika orang (Jerman, Inggris Raya dan Norwegia) dewasa yang rata-rata mengkonsumsi lebih dari dua buah tomat atau tiga porsi buah-buahan segar setiap hari.
Hasilnya menunjukkan penurunan fungsi paru-parunya lebih lamban. Hal tadi bisa saja dibandingkan dnegan orang yang tidak mengkonsumsi buah-buahan, -kecuali makanan yang diproses seperti saus tomat-
Sehingga hasil ini bisa saja menjadi referensi perobatan dan ‘pertaubatan ‘murah meriah nan alami bagi sang perokok untuk berhenti merokok.
Memang sih penelitian ini hanya berdasarkan pengamatan. Namun kesimpulan ini adalah bukti dalam pendekatan lainnya dalam upaya menjaga Kesehatan paru-paru kita bersama kan?
Nah dua kabar baik di tengah pandemi ini, tentu akan menjadi hal baik pula buat kita termasuk para perokok di mana saja berada.
Jika memang masih ada kok ternyata pertimbangan-pertimbangan logis yang bisa dijadikan keputusan untuk para perokok segera berhenti merokok detik ini bertepatan di masa pandemi.
Artinya lagi ya, menurut saya tidak ada kata terlambat bagi diri kita untuk mencintai paru-paru kita sendiri, mulai sekarang! Yakan?
Pravelensi di Indonesia masih berkelindan dengan Tarif Cukai rokok?
Eh lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika masyarakat bumi belahan barat sudah hampir selesai dengan atuaran ketat Pemerintahnya untuk memantapkan kesadaran masyarakatnya menjauhkan diri dari bahaya rokok. Dan hampir berhasil!
Di negeri kita, Indonesia masih saja menyandarkan naik-turun tarif cukai rokok dalam upaya pengendalian rokok serta mengatur imbas pravelensinya.
Namun ya gitu, tingkat Prevalensi perokok di Indonesia masih cenderung tinggi. Meski kerap tarif Cukai Rokok sudah dinaikkan, dan sudah membuat harga eceran rokok pun melonjak jua. Namun ya tetap tak jera jua!
Nah, apakah tarif cukai rokok harus -disengaja- naik lagi, lagi dan lagi? Agar harga rokok di pasaran dan warung klontong ikut melonjak tinggi guna mematikan penyebaran pravelensi perokok kita. Dengan tujuan membunuh keterjangkaun harga rokoknya tadi?
Jawabannya pastilah dinantikan? Dan sudah sengit tersaji dalam diskusi Ruang Public KBR, dengan tema Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemic?
Ada dua narasumber di sana yakni, Prof Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, dan juga ada Renny Nurhasana, Dosen dan peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI.
Nah banyak hal yang menarik yang terungkap dalam perbincangan itu. Ya menyoal rokok dan akibatnya terhadap Kesehatan, terlebih dihubungkan dengan masa Pandemi ini. Dan klimaknya akan masuk dalam beragam dimensi, yakni dimensi ekonomi dan jua sosial.
Intinya, ya dalam perbincangan ini, tarif cukai dan harga rokok, diyakini menjadi kunci dalam menekan pravelensi perokok di Indonesia? Benarkah?
Nah setelah mengunyah perbicangan tadi, saya akhirnya juga akan setuju ikut mengatakan iyes pada usulan kenaikan tarif cukai yg harus terus menjulang! Dan tentu dengan mencoba memberikan tawaran argument lainnya di dalam tulisan ini. Mau tau? Nah yuk diteruskan saja bacanya ya!
Kenaikan Cukai mengokohkan penerimaan negara?
Nah sebelum masuk lebih dalam, Kita bisa saja lekas membandingkannya dahulu harga rokok saat ini. Dimana sih ya posisi Indonesia terhadap salah satu negara maju dalam hal keterjangkauan harga rokoknya di pasaran.
Dilansir dari situs Pemeringkat Numbeo misalnya, menunjukkan jika rokok di Indonesia itu berkisar Rp 20 ribuan-lah. Jika kini kita berada di Singapura, kita harus merogoh Rp 120 ribu, untuk menghisap rokok yang sama lho. Apa kita rela dan mampu membeli rokok dengan harga di Singapura?
Oleh sebab itu, murahnya harga rokok di Indonesia, yang bersangkut paut dengan tarif Cukai rokok, menurut saya membuat keterjangkauan pembelian rokok tadi oleh masyarakat ekonomi kelas bawah lebih mudah. Jika dibandingkan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan harian yang lebih penting.
Jika kita ingat, dalam katadata.co.id mengatakan di tahun 2009 kenaikan cukai rokok rerata hanya 7 % saja. Di tahun 2013 cukai rokok naik 8.5 %, tahun 2015 8.72% dan 2016 naik sebesar 11.19%. Di tahun 2017 cukai rokok melaju lagi dengan kenaikan 10.54% dan tahun 2018 naik lagi sebesar 10.04%.
Dan puncaknya, pada tanggal 1 Januari 2020 lalu, kenaikan cukai rokok dinaikkan kembali sebebsar 23 % dan harga jual eceran melambung menjadi 35 %.
Selama periode 2015-2018, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) suprise menghasilkan kontribusi 96% terhadap total pendapatan Cukai. Tahun 2018 penerimaan CHT sebesar Rp 152.9 Triliun atau 95.8 % dari total pendapatan cukai sebesar Rp 159.6 Triliun.
Nah, lalu dalam Rencana Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 malah menargetkan penerimaan CHT bertambah pula menjadi Rp 171.9 Triliun. Tercapaikah hal itu, jika berbarengan di masa pandemi ini? Ini menjadi jawaban menarik kan?
Nah jika berbicara dalam konteks-konteks ekonomi itu, dan melihat angka-angka tersebut di atas, tentu pendapatan tadi sangatlah menggiurkan, ya?Karena akan bisa digunakan untuk dana pembangunan Negara apa saja!
Ini bisa menjadi poin penting, di dalam penerapan kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang –harusnya- diharapkan terus meningkat selanjutnya, segera.
Meski ya seakan dirasakan belum berdampak signifikan terhadap pravelensi perokok kita ya? Ada apa?
Apa kabarnya pravelensi perokok Indoensia kini, di masa Pandemi?
Harus diakui bersama, jika kebijakan kenaikan tarif cukai Rokok pasti diawali dengan niat mulia Pemerintah, yakni hal hal dasar kesehatan.
Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan pernah mengatakan pertimbangan utama kenaikan cukai rokok pada Januari lalu, ditengarai oleh alasan pravelensi perempuan sebesar 2.5% dan anak 4.8 % terpapar mengkonsumsi rokok.
Data tersebut, didasarkan atas Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2018, artinya jika kita bisa baca lebih dalam, industry rokok tengah membidik segmentasi perokok di Indonesia ke perokok usia muda kan? Dan ini gawat gaes!
Lalu, jika dilihat sepanjang 2014-2017 pertumbuhan volume rokok illegal berbanding terbalik dengan volume rokok legal. Namun berdasarkan riset Ernest dan Young bertajuk ‘kajian singkat dampak ekonomi industry rokok di Indoensia” menyebutkan jika volume produksi rokok illegal rerata tumbuh 12 % per tahun.
Jika 2014 volume rokok legal mencapai 352 miliar batang, pada tahun 2018 volume rokok legal suda berada di 332 miliar batang.
Dari angka-angka ini tentu menjadi fakta miris, jika permasalahan rokok menyisakan banyak pekerjaan rumah. Dimana, setiap kenaikan tarif cukai rokok bisa berasa berjalan sia-sia, karena belum mampu menekan pertumbuhan produksi rokok illegal. Catat ini masalah juga!
Dimana selanjutnya ya imbas dari hadirnya rokok illegal tadi ya akan bisa kembali menumbuhkan keterjangkauan harga rokok di tengah masyarakat kan?
Dan saya pikir, ini bisa menjadi jawaban jika kebijakan kenaikan cukai rokok yang terus menjulang tinggi, tentu harus dibarengi dengan upaya legalisasai yang super ketat pada aktivitas produksi rokok di Indonesia.
Ancaman Resesi, jurus terakhir menebas lonjakan Pravelensi Rokok?
Harus diakui juga, jika Pandemi yang berlangsung saat ini sudah memberikan efek dahsyat pada perlambanan ekonomi di dunia ya? Terutama ancaman jurang Resesi di negara maju bahkan! Apalagi negara-negara berkembang, macam Indoensia kan?
Dalam kondisi ini pula, Pemerintah lewat penyataan ibu Sri Mulyani, dalam wawancara Tempo, sudah memprediksi jika pertumbuhan ekonomi Indoensia pada kuartal kedua bisa menembus minus 4.3 persen.
Nah kondisi ini tentu saja menjadi ancaman kondisi Resesi, bilamana pertumbuhan ekonomi bakal berlangsung selama dua kuartal berturut-turut, selanjutnya –jika prediksi benar-
Dampak Resesi ini-pun tentu akan luar biasa pada konteks-konteks kegiatan ekonomi, misalnya kegiatan investasi akan anjlok dan berimbas pada minimnya lapangan kerja, dan berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana.
Selanjutnya, Produksi akan menurun, yang jua berbarengan akan menurunkan PDB nasional, yang rentan efeknya bakal menjalar ke segala seKtor, seperti kredit macet, inflasi tinggi sampai pada neraca perdagangan yang bernilai minus. Selanjutnya berimbas pada tergerusnya cadangan devisa.
Dan kondisi nyata di kehidupan keseharian kita, akan banyak sekali kita akan kehilangan asset berupa rumah, karena tidak mampu mencicilnya akibat berkurangnya pendapatan.
Dan terlebih kemampuan membeli makanan dan minuman serta biaya pengobatan yang harusnya menjadi bekal utama kita dalam menghadapai pandemic serta kesiapan di masa Resesi kali ini kan?
Nah sampai titik ini, bisa saja membuat kita lebih waspada dalam mengatur ekonomi rumah tangga sendiri, mencegah dan menghadapi imbas ancaman Resesi ini. Ya dengan cara dapat memilih kebutuhan yang pokok dan bermanfaat dalam kehidupan harian kita kan?
Dan dalam hal ini, saya yakin kita semua akan sepakat kebutuhan pokok yang dimaksud bukan membeli rokok? Deal? Dan menjadi terapi untuk dilanjutkan setelah masa Resesi dan seterusnya bahkan!
Lalu bagaimana nasib industri rokok dan aktivitas ekonominya di Indonesia, serta sumbangsihnya terhadap PDB negara ini? Ini tentu akan menjadi sub-bab bahasan sengit lainnya.
Namun jika konteksnya berbicara pada tujuan bersama menebas prevelesi perokok di Indoenesia. Tentu ada salah satu yang mengalah.
Namun saya yakin lah! Jika ide bisnis, tentu saja akan terus berkembang sesuai dengan keadaan, dimana industri rokok pasti akan menyesuaikan diri dengan lingkungan pasarnya termasuk masa Resesi ini.
Tanpa harus dimatikan atau ditutup aktivitasnya. Ini sungguh dilemma! Dan bisa panjang untuk dibicarakan lagi ya!
Pandemi dan Resesi waktu yang tepat nyatakan putusin saja Rokok!
Nah berbicara dalam konteks dalam upaya kita menebas angka pravelesi rokok ini tentu saja, usaha Pemerintah harus pula didukung dengan peran masyarakat bersama kan?
Jika saya tarik lagi ketiga dimensi tulisan di atas, yakni hal kabar baik di balik Pandemi soal perokok, Cukai Rokok dan ancaman Resesi tentu saja bisa menjadikan pertimbangan penting dalam segera memutuskan aktivitas merokok kita. Coba baca lagi deh di atas!
Memang kebijakan kenaikan tari cukai rokok diyakini akan menjadi rantai utama yang mengunci kondisi Pandmei dan jua ancaman jurang Resesi, dalam hal menekan pravelensi perokok di Indonesia kan?
Dengan harga yang melangit di tengah ekonomi lesu, tentu keterpaksaan untuk meninggalkan rokok mungkin terjadi.
Dan kebijakan kenaikan tarif cukai rokok ini, sudah dirasakan efektif diterapkan di berbagai negara dalam menekan pravelesi perokok, yang menurut Renny Nurhasana, Dosen dan peneliti Sekolah Kajian Stratejik Global UI, sudah mencapai 33 % di Indonesia.
Terlebih ditambah lagi dengan menganganya potensi kematian dari paparan covid-19 berbarengan dengan paparan aktivitas merokok tadi bagi semua perokok. dan kita yang -mungkin- baru saja mencoba-coba untuk merokok.
Apa yang harus dilakukan Pemerintah?
Nah dalam hal ini, menurut saya Pemerintah tidak ada salahnya merangsang terus ketidakterjangkauan harga rokok setinggi mungkin ya mudahnya dengan menaikkkan tarif cukai rokok. Namun sebelumnya harus dilakukan beberapa langkah seperti:
1. Membuat aturan tegas soal Rokok buat aparatur negara
Di internal aparatur Pemerintah, bisakah diadakan pemberian sanksi tegas dalam secuil aktivitas merokok? Dalam hal ini bisa dimulai dari prasyarat larangan merokok pada fase rekruitmen ASN-TNI-POLRI hingga pejabat tinggi lainnya, termasuk Presiden. Sehingga aturan ini bisa menjadi konsisten pada semua ASN-TNI-POLRI di jenjang selanjutnya. Dan dijadikan model di masyarakat kita untuk bersama menjauhi bahaya rokok.
2. Pra-syarat penerima bantuan bukan perokok!
Harus adanya pra-syarat khusus bagi penerima bantuan Pemerintah, dimana penerima bantuan, baik beasiswa, bantuan kesehatan, bantuan sosial lainnya harus bebas dari nama-nama yang memiliki riwayat perokok aktiv. Ini bisa disamakan dengan urgensi item-item kalasifikasi definisi kemiskinan atau prestasi sekalipun untuk pemeberian bantuan Pemerintah apa saja!
3. Edukasi positif tentang Rokok
Hendaknya, Pemerintah tidak pernah berhenti mengedukasi bahaya merokok kepada masyarakat. Dan jika perlu tidak memberikan fasilitas kesehatan bagi perokok yang mengeluhkan penyakit yang disebabkan akibat aktivitas merokoknya! Dalam ini akses BPJS bisa digunakan dalam memberikan efek jera masyarakat.
4. Edukasi para pelajar usia muda
Eduksi bahaya merokok di usia dini di sekolah secara berkala, terasa sangat penting. Utamanya yakni pembatasan iklan rokok pada acara-acara di jam produktif. Dan hal yang paling ekstreem sekalipun, terutama pembatalan kerjasama bantuan /CSR/Beasisiwa dari industri rokok –apapun- untuk kegiatana pembinaaan apa saja di jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
5. Naikkan tarif cukai secara berkala
Harus ada upaya terus menaikkan tarif cukai rokok, dalam membunuh keterjangkauan harga rokok di Indonesia. Meski sebuah keniscayaan, untuk membunuh eksistensi industri rokok itu sendiri. Terlebih manfaatnya bisa berimbas pada penambalan defisit APBN akibat Resesi.
Nah mau berhenti merokok sekarang?
Selain Pemerintah, tentu ada daya dan upaya bagi sang perokok untuk sadar meninggalkan aktivitas merokok ini kan? Menurut saya ada beberapa hal, yang saya kompilasikan dari helpguide.org
1. Mulai sekarang berhenti merokok! Tetapkan kapan waktunya!
Penting segera putuskan kapan waktu untuk mengakhiri merokok, sehingga akan ada persiapan. Jika kita seorang perokok di tempat kerja, bisa mulai berhenti di setiap akhir pekan. Jadinya ada beberapa hari untuk menyesuaikan diri kan?
2. Viralkan waktu tadi, beritahu semua teman kita!
Anggap lah jika behenti merokok adalah prestasi terbaik dalam hidup kita. Dan sangat penting untuk mengumumkan keputusan besar ini kepada lingkaran orang di sekitar kita. Jika perlu umumkan saja di laman media sosial soal waktu berhenti merokok. Sehingga lingkungan di sekitar kita, terutama keluarga akan selalu mendukung semua keputusan besar tadi. Ini akan dicatat janji lho! Jadi pasti ada keterpaksaan untuk mengakhiri rokok itu!
3. Keluarkan dan buang semua rokok dari tempat rahasia menyimpannya!
Tidak ada salahnya untuk mengeluarkan dan membuang semua alat dan benda yang mendukung aktivitas merokok. Tidak perlu lagi mengoleksi korek api, asbak dan lainnya. Atau jika perlu mencuci semua benda dan pakaian yang beraroma asap rokok
4. Coba-coba cek kesehatan, siapa tau?
Mengetahui lebih dini dengan mengecek penyakit, menjadi hal penting. Terutama potensi penyakit yang disebabkan aktivitas merokok. Dengan hasil itu, semakin membuat kita tersadar jika benar kita harus meninggalkan merokok selamanya. Dan jangan lupa untuk tetap konsultasi ke dokter dalam upaya penyembuhan dan hidup dengan normal. (AAL ARBY)
“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini”
Daftar bacaan :
- https://dunia.tempo.co/read/1365682/1-juta-warga-inggris-disebut-berhenti-merokok-akibat-virus-corona/full&view=ok
- https://www.vice.com/id_id/article/7xe85a/orang-yang-dulunya-merokok-sebaiknya-rajin-makan-tomat-agar-paru-paru-kembali-bersih?
- https://www.youtube.com/watch?v=ZSGuWiTS3d0
- https://kbr.id/
- https://www.kbrprime.id/?l=story-telling/ruang-publik/1596014460-mengapa-cukai-rokok-harus-naik-saat-pandemi
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/11/rokok-indonesia-termasuk-termurah-di-asia
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/11/rokok-indonesia-termasuk-termurah-di-asia/
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/16/tren-kontribusi-cukai-hasil-tembakau-terhadap-penerimaan-negara
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/16/tren-kenaikan-cukai-rokok-2020-catat-kenaikan-tertinggi
- https://tirto.id/cukai-rokok-naik-23-kurangi-konsumsi-cuma-omong-kosong-jokowi-eicj
- https://majalah.tempo.co/read/wawancara/160981/wawancara-khusus-menkeu-sri-mulyani-pasar-paham-kami-tidak-gila?
- https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/04/151000465/mengenal-apa-itu-resesi-ekonomi-dampak-dan-penyebabnya-?
- https://www.helpguide.org/articles/addictions/how-to-quit-smoking.htm
- https://gaya.tempo.co/read/1363498/momen-pas-berhenti-merokok-saat-pandemi-virus-corona