“Apa yang sudah kita rasakan kini, lewat ragam bencana alam, kekeringan, gagal panen, cuaca ektrem dan permukaan laut menggenangi bibir daratan, akan menjadikan sebuah visi bersama untuk melepaskan selimut polusi dengan ragam kebijakan penting di tangan kita”
— Aal Arbi, East Borneo
Pemerataan Pembangunan rasanya lumrah menjadi sebuah bancakan politik, yang lincah bergema di ruang Demokrasi kita. Hal itu mudah dipantik oleh mimpi banyak daerah, untuk dapat menjamu kehidupan modern warganya, persis kehidupan metropolis di Jakarta sana.
Lantas, hingga hari ini, mimpi itu sudah menjadikan dilema bagi daerah-daerah di Pulau Kalimantan yang notabene adalah tumpuan Paru-paru Bumi, mengakselerasikan kehidupan modern itu, bukan?
Karena, mimpi itu rasanya kian sulit saja, dengan hadirnya ancaman Perubahan iklim yang kian meraja. Solusinya adalah harus tersedianya agenda Pembangunan kini yang mampu memuat nilai-nilai keberlanjutan dan pastinya berharga “mahal’ kan?
Mari lihat pembangunan yang ada di sekeliling kita! Badan pengatur Jalan Tol (BPJT) yang menyebutkan panjang jalan Tol di Indonesia hingga February 2022, sudah mencapai 2.499.06 km. Itu baru infrastruktur jalan saja lho, bagaimana dengan pembangunan sarana failitas umum lainnya?
Ditambah lagi masifnya aktivitas-aktivitas eksploitasi bahan mineral di banyak alas rimba Nusantara, yang aktiif menggerakkan aktivitas-aktivitas konstruksi, mendukung pembiayaan pembangunan tadi.
Jika kita memakna data itu, kita akan mudah membayangkan, sudah berapa banyak unit kendaraan berat berbahan bakar fosil Solar terjun ke lapangan, mengerjakan aktivitas pembangunan infrastruktur di banyak daerah?
Dan setelah infrastruktur jalan itu rampung dibangun, kita juga mampu berhitung berapa banyak pula kendaraan –apa saja– yang akan memanfaatkannya, dan mudah memuntahkan polusi asap kendaraan di udara.
Nah, jika menarik kembali istilah ancaman perubahan iklim di atas, akan mengundang perbincangan sengit, memetik cerita proses muasal pencemaran polusi udara, yang sudah berdampak langsung pada masyarakat perkotaan.
UNEP menyebut sebanyak 6.5 juta orang meninggal setiap tahun, akibat paparan kualitas udara yang buruk emisi kendaraan. Dan tragisnya sebanyak 70% dampak kematian itu terjadi di wilayah Asia Pasifik.
Dan Emisi kendaraan ternyata merupakan penyumbang terbesar terhadap pencemaran udara itu, lewat paparan gas Nitrogen Oksida, Karbon Monoksida, Sulfur Dioksida, hingga Partikulat yang disemburkan knalpot mesin kendaraan.
Mungkin, fenomena itulah yang melahirkan kebijakan Pemerintah, menekankan standarisasi Euro 4 bagi kendaraan Diesel per April 2022 lalu?
Alasannya satu, karena selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim yang lebh ganas dampaknya dalam kehidupan Bumi.
Tapi tenang, medium Demokrasi akan mudah membolak-balikan harapan Bumi untuk menjadi lebih baik kan?
Atau malah sebaliknya, kita mudah ikut menegak racun polusi demokrasi itu, dengan ikut bancakan narasi Politik yang selalu populis, menjaja narasi kesejahteraan di balik ‘keterjangkauan’ harga bahan bakar fosil, yang semuanya pasti mampu menebalkan selimut polusi, mengurung panas di Bumi kita sampai hari ini.
Nah, lantas apakah benar, agenda Pembangunan akan menjadi sebuah ancaman perubahan Bumi kini, yang tanpa kita sadari sudah kita sepakati diam-diam dalam hati kita?
Mari jawab bersama dalam hati!
Pembangunan IKN di Paru Bumi Kaltim, sebuah mimpi Kita?
Status Ibu Kota Negara Nusantara di Wilayah Kalimantan Timur, tentu menjadi sebuah tantangan dan harapan, mengabulkan mimpi pemerataan pembangunan yang ‘berkelanjutan’ tadi kan?
Lihat saja kini, sejak penetapan status IKN 2021 lalu, daerah-daerah penyangga IKN di Kaltim seperti kota Samarinda, kota Bontang dan Balikpapan terus bersolek diri lewat agenda pembangunan daerahnya, yang bertujuan menyokong agenda pembangunan pusat yang bakal lebih massif lagi.
Tonggak pembangunan jalan tol Kaltim, yang satu-satunya terdapat di Kalimantan, sudah berhasil mengundang alat dan kendaraan berat membawa banyak material, membuka ruang baru yang sudah lama menjadi paru-paru Bumi untuk berdenyut lega, melahap sumber karbon di udara.
Semisal, Jalur kawasan hutan Tahura Suharto yang bagiannya merupakan kawasan lindung, akhirnya berhasil teriris sepanjang 24 km menyokong pembangunan jalan tol Samarinda -Balikpapan tadi.
Lantas, apakah ada yang salah dari aktivitas pembangunan infrastruktur kini yang massif terjadi di Kalimantan Timur ini?
Dimana tanpa kita sadari, ternyata aktivitas-aktivitas pembangunan itu sudah ikut memulai memproduksi selimut polusi. Dan mengundang dampak perubahan iklim itu semakin dekat hadir tepat di hadapan kita, lebih cepat lagi.
Nah, membuktikan itu semua, kita bisa saja merenungi hasil Penelitian Universitas Diponegoro yang telah mengamati jumlah polutan CO2e pada sebuah proyek pembangunan pengerjaan konstruksi material. Dimana, terdapat tiga poin menarik tentang selimut polusi. Apa saja itu?
- Sample penelitian yang diperoleh proyek kontruksi perkerasan kaku FlyOver Palur STA. 0+350 s/d 0+450 mencapai 92.9 ton CO2e.
- Pada proses konstruksi Perkerasan Kaku dengan lebar 2 jalur kali 3 meter dengan sampel luasan 600m2 emisi CO2e yang dihasilkan oleh produksi material 88.166 ton CO2e (94.9%), transportasi material 3.168 ton CO2e (3.4%), produksi dan penghamparan beton 1.567 tonCO2e (1.7%)
- Lantas, dapat disimpulkan Emisi CO2e terbesar selama proses produksi yaitu pada proses produksi semen sebesar 80.04 ton dan besi tulangan sebesar 8.126 ton
Sebagai tambahan saja, secara internasional, telah disepakati jika yang dijadikan ukuran besar kecilnya pengaruh dari suatu proses terhadap lingkungan adalah emisi gas yang disetarakan dengan CO2e.
Nah nilai itu baru didapat dari satu proyek kontruksi, bagaimana jika berjumlah massif sekali?
Oleh karena itu nilai yang ingin dicapai dalam pembangunan yang ramah lingkungan di masa depan, harusnya menyelipkan upaya meminimalkan emisi gas CO2e yang ditimbulkan selama proses konstruksi pembangunan berlangsung.
Dan untuk mewujudkan hal itu, tentu kebijakan atas penerapan Euro 4 belum-lah cukup? Harus ada juga penekanan bagi kehadiran kendaraan berat untuk untuk dapat mengaplikasikan—minimal– standart Euro 5 pada sebuah proyek pembangunan di berbagai daerah kini.
Tujuannya ya hanya satu, jelas untuk menekan massifnya polusi udara di sekitar kita, akibat dampak pembangunan apa saja.
Terlebih, penerapan Euro 5 akan juga mampu meminimalisir polusi, paska pemanfaatan pembangunan, jalan yang dipantik oleh aktivitas transportasi di masa depan.
Nah, merenunginya sesaat! Kita wajar beranalogi, jika banyak negara maju di Eropa sana sudah mampu menerapkan speks teknologi Euro 5 dan berhasil menanamkan pada kendaraan diesel, ataupun bensin.
Lantas mampukah bangsa Indonesia juga menghadirkannya secara massif –lagi– teknologi itu, untuk turut menyegerakan mimpi pembangunan lebih massif lagi?
Ya tanpa menunggu alih transisi energi baru terbarukan (EBT), yang pasti akan berproses lama, dan berbiaya mahal.
Nah, Pertanyaan atau suara bersama kita itu, seharusnya bisa menjadi sebuah update-status serta tweet massif di media sosial yang harus kita gemakan. melawan polusi demokrasi yang jua menebal di sana?
Iya polusi demokrasi yang menarasikan agenda politik bagi pembangunan eksplotatif, tanpa nilai keberlanjutan selama ini, bukan?
Menjaga Paru Bumi, harusnya menjadi sebuah Narasi Politik kita bersama
Jika mengingat perjalanan kebijakan ‘langit biru’ Pemerintah, yang menghapuskan penggunaan BBM RON rendah jenis Premium ke jenis RON lebih tinggi Pertalite, ternyata memang tidak-lah mudah bukan?
Kebijakan itu ‘terpaksa’ harus dikerjakan atas desakan Dunia lewat kesepakatan Paris 2015, yang akan memampukan dunia menekan ketebalan selimut polusi, mencegah kenaikan suhu Bumi 2 derajat celsius di akhir abad ini, sekaligus mempercepat net-zero emisi di 2050 mendatang.
Dan kompensasinya, Pemerintah harus membayar kebijakan “langit biru’ itu dengan harga “mahal’?
Pemerintah harus tetap mensubsidi BBM Fosil jenis Pertalite, agar harganya tetap terjangkau, dan subsidi itu rela tidak rela ikut terbakar percuma, dan menciptakan selimut polusi yang lebih tebal untuk bumi hingga hari ini.
Namun, semakin kemari, di awal 2022, kelangkaan BBM Fosil dunia menimbulkan lonjakan harga BBM Pertalite lebih tinggi lagi kan?
Nah jika kita perhatikan, kenyataan itu, akhirnya sangat mudah sekali menjadii celah bancakan politik di ruang maya, dengan narasi Tolak kenaikan harga BBM
Menimang fenomena saat ini, pastilah kita akan mudah merasakan kehadiran polusi demokrasi itu ya memang nyata kan? Yakni, dengan hadirnya, narasi-narasi untuk mengeksplotasi fakta ekonomi masyarakat terkini dengan tujuan politis.
Lantas, pada akhirnya narasi Penolakan kenaikan harga BBM, akan membuat kita lupa untuk move-on menggunakan alternatif energi lain, dan tetap mempertahankan tebalnya selimut polusi bagi Bumi lebih lama lagi, dengan alasan kata “mahal”?
Meski ya kita yakin jika fenomena ini akan menjadi sebuah fenomena turun-temurun di masa yang akan datang. Jika Pemerintah dan kita masih mengandalkan BBM Fossil untuk kegiatan harian kita. Merasakah kita tentang hal ini?
Percepat kebijakan Euro 5 sekarang, akselerasikan pembangunan berkelanjutan itu?
Aku adalah orang yang masih percaya jika semua orang yang pernah memimpin Bangsa Indonesia, itu adalah personal-personal yang sangat konsen sekali pada isu-isu perubahan iklim, disamping fokus menjaja agenda pembangunan Bangsa.
Artinya ya aku meyakini, jika tidak ada sebuah rezim yang menginginkan selimut polusi itu tetap kekal abadi, bukan?
Nah jika berkaca pada fokus kebijakan pemerintahan hingga hari ini, sangat jelas terbaca komitmen itu?
Yakni lewat formulasi bauran energi Pemerintah, yang akan menapikkan penggunaan energi fosil untuk menggerakaan aktivitas masyarakat hingga 2050 nanti.
Formulasi bauran energi pada tahun 2050 diproyeksikan akan didominasi oleh Energi Terbarukan (ET) akhirnya akan mendominasi 31.2%, sedang batu bara 25.3%, gas 24%, lantas minyak bumi –hanya– 19.5%.
Nah artinya, hal yang kita bisa dan harus dilakukan di masa transisi itu, adalah mencoba mengoptimalisasikan efisiensi pengunaan energi fossil mendukung aktivitas harian kita.
Salah satunya bagaimana mengandalkan peran teknologi kendaraan untuk mampu kompetible menjalankan standarisasi Euro 5 juga di Indonesia.
Mengutip Gabungan industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), definisi standar Euro adalah standar negara eropa (EU) yang bertujuan menjaga kualitas udara di Eropa. Semakin tinggi standar Euro yang diberlakukan, maka semakin kecil batasan kandungan gas karbon dioksida (CO2), Nitrogen oksida (Nox), kabron monoksida (CO), volatil hidrokarbon (HC), serta partikel lain, yang terbukti berdampak pada kesehatan dan lingkungan manusia.
Nah, dalam pengambilan kebijakan untuk pengaplikasian standart Euro itu, terpenting harus ada kesiapan atas peningkatan kualitas BBM-nya juga.
Semisal jika standart Euro 1 hanya menuntut mesin yang menelan bensin tanpa timbal. Nah, untuk standarisasi Euro 2, kendaraan diesel harus menggunakan solar dengan kadar sulfur dibawah 500 ppm.
Lantas pada pengaplikasian standarisasi Euro di atasnya, terdapat juga tuntutan pengurangan lebih banyak kadar sulfur di mesin bensin dan solar yang diatur lebih lanjut di Euro 3, Euro 4, standarisasi Euro 5 yang lebih dalam diterapkan olehh kendaraan berat konstruksi dan transportasi.
Poinnya adalah penetapan standart emisi kendaraan di sebuah negara, harus mengetahui secara persis dua faktor yang berkorelasi, yakni teknologi mesinya dan ketersediaan kualitas BBM-nya. Artinya ya percuma, jika standarisasi Euro 5 segera ditetapkan, namun ketersediaan kulitas BBM belum terjangkau, atau terlalu mahal didapatkan.
Nah, mungkin itulah sebabnya, Indonesia baru melangkah mengaplikasi standar emisi gas buang Euro 4 bagi kendaraan, per April 2022 lalu, untuk menggantikan standar Euro 2. Kebijakan itu tertuang lewat peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/menlhk/SETJEN/kum.1/3/2017.
Lantas apa sih standar emisi Euro 5 yang kita damba itu? Yakni standar yang menekankan pengurangan signifikan pada ambang batas untuk partikulat dan nitrogen oksida dalam mesin diesel, lewat –minimal– teknologi filter partikel diesel (DPF) yang mampu menangkap 99 persen partikulat.
Dimana teknologi itu akan mampu memenuhi ambang emisi Euro 5, dengan kadar luaran kadar gas CO mencapai 0.50 g/km, HC+NOx 0.23 g/km, serta PM mencapai 0.005 g/km dan PM sebesar 6.0×10-11/km.
Selimut Polusi, ada di tangan kita!
Aku –sekali lagi– sangat percaya jika demokrasi akan memberikan sebuah panggung kolaborasi nyata bagi kita semua untuk mendorong perubahan besar bagi perbaikan Bumi ini.
Meski kita pasti sadari juga, jika perubahan besar itu –memang- akan tergantung dari kebijakan Pemerintah, yang sungguh-sunggguh pro bagi lingkungan.
Demokrasi –sekali lagi– juga akan banyak memberikan harapan-harapan itu lewat ragam pilihan figur pemimpin masa depan, yang juga akan fokus terhadap masa depan bumi.
Artinya ya, aku, kamu dan kita semua akan mampu berkontribusi nyata jika nanti menduduki posisi itu, bukan?
Oleh sebab itu, apa yang sudah kita rasakan kini, lewat ragam bencana alam, kekeringan, gagal panen, cuaca ektrem dan permukaan laut menggenangi bibir daratan, akan menjadikan sebuah visi bersama untuk melepaskan selimut polusi dengan ragam kebijakan penting di tangan kita.
Namun apa iya kita harus menunggu kesempatan itu, hingga salah satu dari kita, menjadi seorang pemimpin bangsa, sang policy-maker bagi lingkungan kita sesunguhnya di masa depan?
Dan yang pasti, upaya melepaskan selimut polusi yang mendera Bumi, akan tetap mampu kita atasi lewat sebuah kolaborasi, menyuarakan aksi peduli yang dibarengi perilaku ramah lingkungan.
Cara itu tentu saja akan ampuh membasmi polusi demokrasi, yang selalu mematikkan rasa empati kita terhadap Bumi.
Nah, bagaimana wujud kolaborasi itu, dalam konteks segera melepaskan selimut polusi Bumi, untuk masa depan kita lebih baik?
1. Memaksimalkan regulasi dan kebijakan pro Lingkungan pemerintah secara massif
Pro dan kontra itu biasa dalam ruang Demokrasi?
Namun pastilah kita akan satu suara membela Bumi dari ancaman perubahan iklim kini, meski kita –kadang– tidak selalu singkron antara ucapan dan tindakan?
Kenaikan harga BBM –msialnya– tentu akan menjadikan sebuah penguji bagaimana kita bisa lekas move-on untuk mencoba menggunakan BBM yang nyata lebih ramah lingkungan? Mahal pasti, namun dampak yang ditularkan akibat perubahan iklim di masa depan pastilah akan berharga lebih mahal lagi bukan.
Dan ternyata, akan terdapat banyak ragam kebijakan Pemerintah yang mampu menampung radikalisme kita mencipta lingkungan terbaik, selain sudah menggunakan BBM paling ramah lingkungan dengan nilai RON tinggi di masa transisi ini.
Kebijakan itu adalah berinvestasi PLTS untuk mempercepat akselerasi EBT, menggunakan tenaga surya. Dengan Permen ESDM NO 49/2018 kita bisa mereguk bisnis elektrifikasi listrik ke rumah-rumah layaknya PLN.
Nah lewat kebijakan ini tentu menjadikan ruang win-win solusi terhadap kepedulian kita move-on ke energi surya lebih cepat lagi bukan?
2. Mengenakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam sirkel kita
Memulai hemat energi menjadi hal terkecil, untuk melepas selimut polusi dengan mudah. Salah satunya matikan lampu jika tidak digunakan, atau hanya menggunakan kendaraan pribadi pada momen tertentu, selebihnya menggunakan transportasi umum.
Perjuangan ya memnag butuh pengorbanan kan? Oleh sebab itu menyipta lingkungan yang sehat tentu memerlukan biaya yang tak murah.
Jika ada motto “jika ada yang murah mengapa pilih yang mahal’ sepertinya motto itu tidak berlaku deh bagi kita ikut memperjuangkan langkah melindungi bumi dari polusi.
Dan mental ini ya tentu dibutuhkan, memhami dinamika harga BBM Fossil yang akan bergerak naik dari masa ke masa. Percayakan?
Nah, semua pengorbanan kita untuk mengenakan prinsip efektivitas dan efisiensi menggunakan energi BBM Fossil tentu menjadikan edukasi terpenting yang menjalar di sirkel keluarga kita.
Bayangkan, jika banyak keluarga mempraktekkan hal yang sama, tentu selimut polusi akan mudah teratasi lebih cepat.
3. Memilih partai politik yang ramah lingkungan
Partai Politik tentu akan menjadi sebuah kunci pembuka selimut polusi Bumi kita kan?
Karena Parpol akan menentukan sosok figur pemimpin yang benar-benar pro terhadap isu lingkungan itu.
Oleh sebab itu adakah partai politik yang ramah lingkungan dengan melemparkan isu lingkungan di setiap kampanye politiknya sih?
Jika hari ini benar ada, maka langkah terkecil melepaskan selimut polisi di masa depan, adalah dengan memilih parpol itu, dan menugaskan kadernya untuk segera mencipta produk kebijakan yang lebih tegas, dengan isu keberlanjutan pembangunan di Parlemen.
Mungkin hal ini sudah bisa merefleksiskan sikap politis kita terhadap ancaman perubahan iklim terkini, bukan?
Membayangkan banyaknya Parpol ramah lingkungan itu hadir, tentu saja memudahkan kita memilih harapan-harapan untuk Bumi yang lebih baik.Dan Melepaskan selimut polusi itu sekarang, lewat singkronnya keinginan tadi dan perbuatan nyata kita di Bumi ini.
Penutup
Pembangunan di masa depan akan terus berjalan dengan massifnya, mengikuti kehidupan modern kita.
Dan hal itu menjadi sebuah keniscayaan bukan?
Namun pembangunan tentu akan memerlukan alas sebagai pijakannya, dan itu pasti!
Jika pembangunan sudah merelakan hutan yang mampu menghajar selimut Polusi. Lantas siapa lagi yang akan mau dan mampu menghajar #selimutpolusi selain #mudamudiBumi iyes #TeamUpForImpact demi #untukmubumiku, kini dan untuk selamanya?
Sumber bacaan